Fikih Haji & Umrah (3): Wukuf, Ihshar, Thawaf Wada’

Published by forkitajp on

Rukun Haji dan Umrah 4: Wukuf di Arafah

Rukun haji sama sekali tidak dapat ditinggalkan selama jamaah haji tersebut masih hidup. Jika ditinggal, maka hajinya tidak sah. Bahkan mereka yang sekarat pun, harus hadir di Arafah saat wukuf (safari Arafah).
Sementara jika wajib haji tidak dilaksanakan, maka ia harus membayar dam/denda, baik berupa memotong hewan, berpuasa, atau memberikan makan.

Wajib-wajib Wukuf di Arafah

  1. Datang atau hadir di Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah setelah zawal (masuknya waktu zhuhur) hingga masuk waktu maghrib.
    Rasulullah SAW saat melakukan wukuf di Arafah, melakukan perjalanan dari Mina. Sebelum memasuki Arafah, beliau berhenti di lokasi yang saat ini bernama Namirah dan berdiri Masjid Namirah, yang bagian depan/imam tidak masuk bagian dari Arafah. Beliau Shalat Zhuhur dan Ashar terlebih dahulu di sana. Pada masa sekarang, hal ini sulit untuk dilakukan karena banyaknya jumlah jamaah haji, dimana jamaah biasanya langsung menuju tenda sejak pagi.
  2. Mabit di Muzdalifah (bermalam/mabit setelah keluar dari Arafah).
    Terdapat perbedaan pendapat antara ulama/fuqaha terkait mabit. Ada yang berpendapat bahwa cukup sekedar lewat saja pada sebagian waktu di malam hari, dan pendapat ini diambil oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Sementara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, beliau keluar dari Arafah setelah masuk maghrib, tanpa Shalat Maghrib terlebih dahulu. Beliau SAW tiba di Muzdalifah setelah masuk waktu isya. Beliau menjama’ Shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah, dan bermalam di sana hingga matahari terbit (bahkan dikatakan hingga sinar matahari sudah mulai terik/panas).

    Yang dilakukan ketika mabit di Muzdalifah adalah Shalat Maghrib dan Isya (jama’ ta’khir), mengumpulkan batu (Rasulullah SAW hanya mengumpulkan 7 batu untuk Jumrah ‘Aqabah pada 10 Zulhijjah), dan beristirahat. Setelah Shalat Subuh, berdoa dan berdzikir. Seluruh wilayah Muzdalifah adalah Al-Masy’ari Al-Haram, sebagaimana disebutkan pada Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 198.

  3. Melontar Jumrah ‘Aqabah di Mina.
    Pada masa sekarang, biasanya jamaah haji akan menuju tenda di Mina terlebih dahulu dan diberi jadwal untuk melontar Jumrah ‘Aqabah.
  4. Mencukur rambut setelah melontar Jumrah ‘Aqabah.
    Bagi laki-laki boleh menggundul atau hanya memendekkan saja, dengan menggundul lebih baik. Sementara untuk perempuan cukup memotong seujung kuku.

    Rasulullah SAW setelah melontar jumrah, memotong hadyu (hewan sembelihan). Saat ini, penyembelihan hadyu dikelola oleh Kerajaan Saudi Arabia.

    Setelah memotong rambut, jamaah haji sudah masuk pada kondisi tahallul pertama.

  5. Bermalam di Mina.
    Bagi yang melontar jumrah tapi tidak mabit di Mina, maka ia wajib membayar denda. Menginap di Mina dilaksanakan pada malam tanggal 11 dan 12, dan jika diperpanjang (ta’khir) hingga tanggal 13.
  6. Melontar Jumrah Ula, Wustha dan ‘Aqabah pada Hari-hari Tasyrik.
    Masing-masing jumrah dilontar dengan menggunakan 7 batu. Waktu melontar adalah dimulai dari setelah masuk waktu zhuhur.

Semua hal di atas dikategorikan sebagai wajib berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA, dimana Rasulullah SAW memerintahkan agar kita mengikuti ibadah haji secara runut sebagaimana yang beliau SAW lakukan.

Sunnah-sunnah Wukuf di Arafah

  1. Sunnah Hari Tarwiyah (8 Zulhijjah).
    Bagi jamaah yang melakukan Haji Tamattu’, mulai menggunakan ihram untuk haji pada tanggal ini. Perlu memperhatikan sunnah-sunnah ihram dan berniat untuk haji, “Labbaika Allahumma hajjan.” Kemudian ke Mina dan menginap di sana. Shalat wajib (zhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh) dilakukan di Mina pada masing-masing waktu dengan diqashar.
  2. Ketika awal datang ke Arafah, menunggu di Namirah dan melakukan shalat zhuhur dan ashar di sana.
    Namun, hal ini sulit dilakukan pada saat ini, karena jamaah haji langsung diantar ke perkemahan masing-masing.
  3. Memasuki Arafah setelah Shalat Zhuhur dan Ashar.
    Hal ini juga sulit untuk dilakukan sebagaimana pada poin nomor 2.
  4. Mengakhirkan Shalat Maghrib di Muzdalifah.
    Jika bus lambat datang dan jamaah lama menunggu, tidak mengapa untuk Shalat Maghrib dan Isya di Arafah.
  5. Setelah Shalat Subuh di Muzdalifah (Al-Masy’ari Al-Haram), berdoa dan berdzikir sambil menghadap kiblat.
  6. Melakukan secara berurutan antara Jumrah ‘Aqabah, memotong hadyu, mencukur/memotong rambut, dan Thawaf Ifadhah.
    Setelah mencukur rambut, diperbolehkan untuk menukar baju.
  7. Melakukan Thawaf Ifadhah pada tanggal 10 Zulhijjah.
    Ada pun waktu pelaksanaan Thawaf Ifadhah adalah hingga jamaah haji tersebut mau meninggalkan Makkah. Bahkan, jika jamaah haji tersebut telah meninggalkan Makkah tanpa Thawaf Ifadhah, dia dapat kembali ke Makkah untuk melakukannya. Hambatan untuk melakukan sunnah ini pada zaman sekarang adalah sulitnya mencari kendaraan untuk ke Makkah dan padatnya Masjid Al-Haram pada hari tersebut.

Adab-adab Wukuf di Arafah

Terdapat beberapa adab dalam rangkaian wukuf, dan hal ini tidak termasuk sunnah. Salah satu di antaranya adalah melalui jalur yang dilalui Rasulullah SAW saat menuju Arafah dan Mina.


Al-Ihshar

Orang yang sudah berihram dan sudah melafalkan kalimat “Labbaik Allahumma hajjan” atau “Labbaik Allahumma ‘umrah” tapi setelahnya ia tidak bisa melanjutkan perjalanan (misal karena sakit, tidak mendapat izin penguasa, atau kondisi keamanan) disebut sebagai ihshar (tertahan). Bagi orang yang seperti ini, maka ia harus menyembelih kurban di tempat tersebut dan tidak perlu melanjutkan perjalanan haji/umrahnya. Namun, jika ketika ia berniat ihram disertai dengan syarat, maka tempat halalnya (mahilli, lawan dari ihram), atau tempat tahallulnya, adalah di tempat ia terhalang untuk melakukan perjalanan dan ia tidak perlu membayar dam.


Thawaf Wada’

Thawaf Wada’ adalah thawaf yang dilakukan ketika akan meninggalkan Makkah. Thawaf Wada’ adalah wajib kecuali oleh Madzhab Hanafi yang mengkategorikannya sebagai sunnah. Setelah Thawaf Wada’, dilarang untuk melakukan aktifitas lain kecuali jika terjadi kondisi darurat seperti terjadinya pengunduran keberangkatan. Dan jika terjadi hal semacam ini, sebaiknya menghindari aktifitas atau hal-hal yang tidak penting.


Sesi Tanya Jawab

  1. Apakah shalat wajib itu termasuk hal yang dibolehkan untuk memutus thawaf atau sa’i?
    Pada pembahasan sebelumnya (Kajian Islam Kimochi #148) disebutkan bahwa thawaf dan sa’i wajib dilaksanakan secara al-muwalah (berkelanjutan dari awal hingga akhir tanpa diselingi aktifitas lain). Terdapat 3 al-muwalah dalam rangkaian thawaf dan sa’i:

    • Berkelanjutan dalam putaran thawaf
    • Berkelanjutan dalam putaran sa’i
    • Berkelanjutan antara thawaf dan sa’i (setelah thawaf langsung melaksanakan sa’i)

    Terdapat perbedaan pendapat antara ulama madzhab terkait hal ini. Yang paling memudahkan adalah Madzhab Syafi’i yang menyatakan bahwa al-muwalah tidak wajib, melainkan sunnah, baik dalam putaran thawaf, putaran sa’i, maupun antara rangkaian thawaf dan sa’i. Hanya Madzhab Maliki yang mewajibkan al-muwalah mulai dari rangkaian putaran thawaf, putaran sai, hingga antara thawaf dan sa’i. Sementara Madzhab Hambali menyebutkan bahwa al-muwalah wajib pada putaran thawaf dan putaran sa’i, namun tidak wajib di antara thawaf dan sa’i (boleh beristirahat di antaranya).

    Adapun Rasulullah SAW mencontohkan adanya al-muwalah pada ketiganya. Namun jika ada uzur, maka boleh diputus dan kemudian dilanjutkan dimulai kembali dari putaran terputusnya thawaf tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang keluar ketika di thawaf ketiga (thawaf ketiga belum selesai), maka ia memulai kembali pada thawaf ketiga dari posisi Hajar Aswad.

    Salah satu uzur yang boleh memutuskan thawaf adalah batalnya wudhu. Kondisi saat ini di Masjid al-Haram, tempat thawaf akan penuh ketika shalat wajib sehingga tidak mungkin untuk tetap melaksanakan thawaf. Sehingga shalat jamaah dapat dikategorikan sebagai uzur untuk memutus thawaf.


Urutan Pelaksanaan Haji & Umrah

  • Ada 3 jenis pelaksanaan ibadah haji; Haji Tamattu’, Haji Qiran, dan Haji Ifrad. Menurut jumhur ulama, yang paling afdhal adalah Haji Tamattu’, meskipun Rasulullah SAW melaksanakan Haji Qiran.
  • Pada Haji Tamattu’, umrah dilaksanakan terlebih dahulu sebelum agenda haji. Haji Tamattu’ biasa dilakukan oleh jamaah haji dari seluruh dunia.
    1. Ihram; berniat untuk melakukan ibadah haji/umrah.
      Bagi yang berangkat dari Jepang dan langsung melakukan umrah, maka akan berihram di pesawat (melalui miqat ketika masih di pesawat). Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jeddah dapat dijadikan sebagai tempat miqat, walau jumhur ulama tidak berpendapat demikian. Mengucapkan lafaz niat umrah “Labbaika Allahumma umrah” dalam kondisi sudah siap untuk ihram. Lafaz niat dapat ditambahkan dengan syarat, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian al-ihshar di atas.
    2. Memperbanyak talbiyah, bershalawat, berdzikir, atau membaca Al-Quran.
      Talbiyah dianjurkan hingga ketika sudah memasuki Masjid Al-Haram, melihat Ka’bah, atau mau memulai Thawaf Umrah.
    3. Thawaf Umrah.
      Thawaf dimulai dari posisi Hajar Aswad. Jika memungkinkan, dapat dengan menciumnya. Jika tidak memungkinkan untuk mencium, dapat dengan menyentuhnya (istilam). Jika tidak bisa keduanya, maka dengan memberi isyarat (badan menghadap Hajar Aswad dan tangan diangkat dengan telapak tangan mengarah ke Hajar Aswad) dan mengucapkan “بسم الله، الله الكبر“. Lafaz basmalah diucapkan karena akan memulai aktifitas (thawaf).

      Kemudian berjalan mengelilingi Ka’bah tanpa ada kewajiban membaca dzikir tertentu. Bacaan dzikir yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW hanya di antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, yaitu:

      رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

      Setelah tiba pada posisi Hajar Aswad, kembali menghadap Hajar Aswad dan mengangkat tangan serta mengucapkan “الله الكبر“. Setelah tujuh putaran, tidak perlu lagi menghadap Hajar Aswad.

      Disunnahkan untuk ittiba’ (membuka bahu kanan) dan harwala (berjalan cepat) bagi laki-laki saat melakukan thawaf yang pertama kali (thawaf umrah bagi Haji Tamattu’). Setelah selesai putaran thawaf ketujuh, menutup bahu kanan bagi yang melakukan ittiba’.

    4. Shalat Sunnah Thawaf.
      Dianjurkan untuk dilaksanakan di belakang Maqam Ibrahim, namun bisa juga dilakukan dimana pun di dalam masjid. Ayat yang dibaca Rasulullah SAW pada shalat sunnah ini adalah Surah Al-Ikhlas dan Surah Al-Kafirun (terdapat 2 riwayat; yang pertama membaca Surah Al-Kafirun terlebih dulu dan yang kedua membaca Surah Al-Ikhlas terlebih dahulu).
    5. Kembali ke Hajar Aswad untuk menciumnya jika memungkinkan.
    6. Sa’i Umrah.
      Ketika menuju tempat sa’i (mas’a), membaca Surah Al-Baqarah ayat 158:

      إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

      Ketika tiba di Shafa, disunnahkan untuk berhenti menghadap kiblat dan berdzikir sambil mengangkat tangan dengan membaca:

      لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
      لَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ ، صَدَقَ وَعْدَهُ ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ

      Dilanjutkan dengan doa (bebas). Hal ini dapat dilakukan sebanyak tiga kali maupun hanya sekali. Kemudian mulai berjalan menuju Marwah.

      Di antara Shafa dan Marwah, terdapat area yang ditandai dengan lampu hijau, yang merupakan lembah yang terdalam dimana Siti Hajar berjalan cepat. Di tempat ini, disunnahkan bagi laki-laki untuk berjalan cepat.
      Tidak ada bacaan khusus antara Shafa dan Marwah. Bacaan khusus hanya ketika telah berada di Shafa dan Marwah. Ketika mendekati Marwah, tidak lagi disunnahkan untuk membaca Surah Al-Baqarah 158.

      Ketika di Marwah, kembali menghadap ka’bah dengan membaca dzikir sebagaimana ketika di Shafa dan dilanjutkan dengan doa bebas. Demikian pula ketika berada di Shafa dan Marwah pada putaran-putaran berikutnya.

    7. Mencukur atau memendekkan rambut (taktsir). Hal ini merupakan akhir dari prosesi umrah.
    8. Pada tanggal 8 Zulhijjah, berihram dari hotel masing-masing (miqat di tempat tinggal saat di Makkah), dengan lafaz “Labbaika Allahumma hajjan.”
      Status sebagai muhrim (dalam kondisi ihram) ini berlanjut hingga tanggal 10 Zulhijjah. Kemudian menuju Mina untuk menginap di Mina (tarwiyah).
    9. Pada pagi hari tanggal 9 Zulhijjah, bergerak menuju Arafah.
      Disunnahkan untuk mandi di pagi hari di Mina sebelum berangkat ke Arafah.
    10. Wukuf di Arafah mulai waktu zhuhur hingga maghrib.
      Sebelum waktu zhuhur, dapat beristirahat agar ketika waktu wukuf bisa fokus untuk berdzikir dan berdoa.
    11. Menuju Muzdalifah setelah maghrib.
      Setelah tiba di Muzdalifah, melaksanakan Shalat Maghrib dan Isya (jama’ ta’khir), beristirahat hingga fajar, Shalat Fajar berjamaah, dan kemudian berdzikir hingga matahari terbit. Dapat juga mengumpulkan batu untuk melontar jumrah.
    12. Kembali ke tenda di Mina, kemudian menuju Jumrah ‘Aqabah.
      Disunnahkan untuk melontar dari sebelah kiri jumrah (menghadap Makkah). Setiap lontaran disertai dengan takbir, dimana saat lemparan pertama diawali dengan lafaz basmalah. Setelah melontar sebanyak 7 kali, disunnahkan untuk pulang tanpa berdoa.
    13. Mencukur atau memotong rambut.
      Setelah ini, jamaah haji berada pada posisi tahallul pertama, sehingga boleh menukar baju dan memakai wangi-wangian.
    14. Bagi yang ingin melaksanakan Thawaf Ifadhah pada tanggal 10 Zulhijjah, dapat langsung ke Makkah dari tempat melontar jumrah.
    15. Melontar Jumrah Ula, Wustha dan ‘Aqabah pada Hari-hari Tasyrik (11, 12, 13 Zulhijjah).
      Disunnahkan untuk berdoa dengan menghadap kiblat setelah melontar Jumrah Ula dan setelah melontar Jumrah Wustha, tapi tidak disunnahkan setelah melontar Jumrah ‘Aqabah. Waktu melontar jumrah pada Hari-hari Tasyrik adalah setelah zhuhur.
    16. Bagi yang nafar awal, meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam pada tanggal 12 Zulhijjah.
      Jika ia masih di Mina setelah masuk maghrib, maka ia harus mabit kembali di Mina dan melontar jumrah pada tanggal 13 Zulhijjah (nafar tsani).
    17. Bagi yang belum Thawaf Ifadhah dan sa’i untuk haji pada tanggal 10 Zulhijjah, segera melaksanakannya baik pada Hari Tasyrik maupun ketika telah kembali ke Makkah.
    18. Bagi yang telah selesai melaksanakan sa’i untuk haji, maka ia sudah pada posisi tahallul tsani (sudah bebas dari semua larangan ihram).
    19. Setelah sa’i, tinggal menunggu waktu pulang. Sebelum pulang, perlu melaksanakan Thawaf Wada’.
    20. Bagi wanita yang berhalangan, maka melaksanakan Thawaf Ifadhah ketika telah suci.
      Namun jika mengikuti rombongan yang sudah akan meninggalkan Makkah dan ia belum suci, maka hal ini dianggap kondisi darurat dan ia dapat melaksanakan Thawaf Ifadhah dalam kondisi belum suci. Sementara pelaksanaan Thawaf Wada’ menjadi gugur jika masih belum suci, tanpa perlu membayar denda.

(Bersambung di Kajian Islam Kimochi 150 dengan tema Ziarah ke Masjid Nabawi dan Tempat-tempat Utama di Madinah, insya Allah.)

Artikel ini merupakan rangkuman Kajian Islam Kimochi edisi 149, sesi Serial Kajian Kitab Minhajul Muslim, yang disampaikan oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA. pada Ahad, 16 Juni 2019 M (12 Syawal 1440 H) di Masjid Indonesia Tokyo.

Rekaman Kajian Islam Kimochi #149



Kontributor: Abdul Aziz