Fikih Haji & Umrah (1): Ihram
Hukum dan Hikmah Haji dan Umrah
Haji adalah bagian dari rukun Islam. Dalam sebuah hadits haji disebut sebagai rukun Islam yang kelima dan pada hadits lain disebut sebagai rukun yang keempat. Allah mewajibkan seluruh umat yang beriman untuk berhaji bagi yang memiliki kemampuan, sebagaimana tercantum dalam QS. Ali Imran: 97.
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran:97)
Pada masa sebelum nubuwwah, orang-orang arab juga telah menunaikan ibadah haji, namun dengan cara-cara jahiliyah yang jauh dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim, kemudian Rasulullah ﷺ datang untuk meluruskan ibadah haji tersebut pada Haji Wada’ tahun 10 H.
Ibadah haji hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu, dan haji berikutnya hukumnya sunnah. Adapun umrah, hukumnya juga wajib (mengikuti hukum haji, sesuai makna ayat QS. Al-Baqarah:196), karena seseorang yang berhaji juga hendaknya menunaikan umrah (Haji tamattu’ maupun ifrad).
Hikmah ibadah haji dan umrah adalah untuk meninggikan derajat dan menghapus dosa-dosa yang telah lampau.
Syarat-syarat Orang yang Wajib Berhaji dan Umrah
Syarat orang yang wajib beribadah haji adalah:
- Muslim
- Berakal
- Baligh
- Memiliki kemampuan, dalam arti mempunyai bekal (baik untuk dirinya dan untuk keluarga yang ditinggalkannya), kendaraan, dan juga memiliki waktu untuk menunaikannya.
Orang yang kondisi fisiknya lemah hendaknya ia berangkat bersama kerabat yang dapat mengiringi/menemaninya. Jika tidak ada teman/kerabat yang mengiringinya maka dia tidak wajib berhaji. Selain itu, pada masa sekarang ini, , maka seseorang yang telah mendaftar haji namun dengan waktu tunggu haji yang lama dapat dikatakan belum mampu untuk berhaji karena masih tertahan oleh waktu tunggu yang diberlakukan oleh pemerintah.
Orang yang mampu namun enggan berhaji maka Rasulullah ﷺ memberikan ancaman, yaitu seseorang tersebut bisa meninggal dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.
Rukun Haji
Dalam ibadah haji terdapat rukun haji dan wajib haji. Rukun haji adalah amalan yang jika ditinggalkan maka batal/tidak sah hajinya. Sedangkan wajib haji adalah amalan yang jika ditinggalkan maka hajinya tetap sah namun ia berkewajiban membayar denda/dam.
Rukun haji ada empat yaitu:
- Ihram
- Thawaf
- Sa’i
- Wukuf di Arafah
Rukun Haji dan Umrah 1: Ihram
Ihram adalah berniat untuk haji/umrah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan khusus selama ihram. Lafaz ihram haji/umrah adalah “Labbaikallahumma hajjan/umratan”, yang berarti “Aku memenuhi panggilanmu ya Allah untuk berhaji/umrah.”
Disebut ihram karena berasal dari kata haram, dan lawan katanya adalah ihlal (halal) karena dalam ihram berlaku larangan hal-hal tertentu yang pada kondisi biasa hukumnya halal. Masa ihram haji adalah sejak tangal 8-10 Dzulhijjah, dan masa ihram umrah lebih singkat dari itu.
Kewajiban-kewajiban Ihram
- Ihram dari miqat
Miqat adalah tempat dimana orang yang berhaji harus memulai ihram sebelum memasuki Makkah. Miqat haji bagi orang yang berada di dalam batas miqat, maka miqatnya adalah di rumahnya. Sedangkan miqat bagi orang-orang di luar batas miqat berdasar hadits dari Ibnu Abbas adalah sebagai berikut:- Bagi penduduk Madinah, miqatnya di Dzul Hulaifah, atau sekarang dikenal sebagai Bir Ali.
- Bagi penduduk Irak, Nejed, atau yang datang dari arah timur, miqatnya di Qarnul-Manazil.
- Bagi penduduk Yaman atau yang datang dari selatan, miqatnya di Yalamlam.
- Miqat bagi Penduduk Syam atau yang datang dari arah barat, miqatnya di Juhfah.
Miqat tersebut berlaku bagi penduduk dari wilayah tersebut, atau orang yang hendak berhaji dari wilayah tersebut. Maka warga Indonesia/Jepang, ketika berziarah di Madinah terlebih dahulu, maka ketika hendak berangkat haji dari Madinah mengambil miqat di Bir Ali.
Sedangkan untuk umrah, bagi penduduk Makkah, maka miqatnya adalah di titik batas Tanah Haram yang terdekat. Titik yang terdekat tersebut salah satunya adalah di Tan’im (Masjid Aisyah).
Barang siapa yang melewati batas miqat tanpa berihram, jika ia tidak kembali lagi ke miqat untuk ihram maka haji/umrahnya tetap sah, namun ia berkewajiban membayar denda/dam. - Memakai pakaian ihram
Pakaian ihram untuk laki-laki adalah dua helai kain yang tidak berjahit yaitu rida (selendang bagian atas) dan izar (kain yang disarungkan). Maksud pakaian berjahit ini adalah pakaian yang disambung yang membentuk bentuk tubuh (misalnya tsaub/jubah, gamis, celana panjang dan sejenisnya). Tidak boleh juga memakai imamah (tutup kepala dan sejenisnya, misalnya topi, dsb) dan tidak boleh juga memakai khuff (sepatu yang menutup mata kaki dan sejenisnya, misalnya kaos kaki, dsb). Alas kaki yang dianjurkan adalah sandal yang terbuka ujung kaki dan mata kakinya.
Adapun pakaian ihram untuk perempuan adalah pakaian yang menutup auratnya, tanpa memakai tutup wajah (cadar), sarung tangan. - Membaca Talbiyah
Menurut penulis buku ini (yang dipengaruhi oleh madzhab Maliki) berpendapat bahwa hukum membaca talbiyah adalah wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama, membaca talbiyah hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Sunnah-sunnah ihram antara lain:
- Mandi sunnah sebelum ihram
Mandi sebelum ihram dianjurkan bagi orang yang hendak berhaji/ihram, termasuk juga wanita yang sedang haid/nifas. Jika miqatnya jauh, maka dibolehkan mandi sejak di rumah. - Memakai dua helai kain ihram warna putih.
- Berihram setelah menunaikan shalat.
Shalat ini bukanlah shalat khusus ihram, tetapi shalat apa saja, baik itu shalat sunnah (misalnya shalat tahiyatul masjid atau shalat dhuha) atau shalat wajib. - Membersihkan badan, misalnya merapikan rambut, memotong kuku, dsb.
- Mengulang-ulang bacaan talbiyah.
Sesi tanya jawab
- Bagaimana hukum haji yang berkali-kali karena ada perasaan khawatir hajinya tidak diterima/tidak mabrur?
Dikembalikan kepada makna asalnya, antara sah/tidak sah dan diterima/tidak diterima. Secara hukum, orang yang hajinya tidak sah maka dia harus mengulang lagi di tahun berikutnya. Jika haji/umrahnya secara fiqih sudah sah, maka dia tidak terkena kewajiban haji lagi, dan haji berikutnya adalah sunnah, dan dianjurkan untuk mengulang hajinya setiap lima tahun sekali. Sedangkan diterima/tidaknya ibadah haji/umrah hanya Allah ﷻ yang mengetahui.
Selain ibadah haji, dalam Islam masih ada pintu-pintu kebaikan yang berpahala sangat besar yang dapat diamalkan untuk menambah pahala kebaikan. - Bagaimana hukumnya pemakaian kosmetik bagi perempuan saat ihram?
Dalam ihram kita dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang bersifat kesenangan duniawi. Dalam hal kosmetik maka ditinjau dari kemaslahatan. Jika ditujukan untuk bersenang-senang, berhias diri, maka sebaiknya ditinggalkan. Namun jika ada kemaslahatan, misal pelembab bibir (lip balm) atau lotion pelembab kulit maka hukumnya boleh. - Bagaimana hukum kosmetik tanpa alkohol dan parfum?
Ada beberapa pendapat tentang najisnya alkohol. Menurut pendapat yang rajih, alkohol tidaklah najis, dengan dalil yang disandarkan pada riwayat haramnya khamr. Adapun kosmetik yang mengandung parfum, maka ada beberapa pendapat ulama. Sebagian ulama berpendapat boleh memakai shampoo/sabun yang ada kandungan parfumnya, karena tidak dimaksudkan sebagai parfum/wangi-wangian. - Bagaimana hukum baju ihram yang bermotif?
Pakaian yang bermotif hukumnya boleh, dengan catatan tidak mencolok dan tidak bertujuan menarik lawan jenis.
Secara umum, poin utama dari ihram terkait dengan kosmetik/pakaian ini adalah menjauhi hal-hal yang bersifat kesenangan duniawi.
(Bersambung di Kajian Islam Kimochi 148 dengan tema Fiqih haji dan Umrah bagian 3, insya Allah.)
Rekaman Kajian Islam Kimochi #147
> Sesi 1 oleh Ustadz Istihsan Arif Al-Fudaily.
> Sesi 2 oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., M.A.
Kontributor: Hifni