Hukum Mengusap Sepatu

Published by forkitajp on

Pada konteks ini, terdapat dua jenis sepatu, yaitu:

  1. sepatu yang menutupi bagian kaki yang wajib dibasuh saat berwudhu, dan
  2. sepatu yang tidak menutupi bagian tersebut.

Untuk jenis sepatu pertama yang menutupi mata kaki bahkan hingga betis, maka hukum mengusapnya disamakan dengan hukum mengusap khuf saat berwudhu. Seluruh syarat mengusap khuf yang ditetapkan syariat harus dipenuhi (dijelaskan di bawah pada bagian “Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan“).

Sementara untuk jenis sepatu kedua, yang mana mata kaki dan bagian atas kaki penggunanya terlihat, maka hukum mengusapnya tergantung pada kondisi-kondisi yang meliputi:

  • Apabila seseorang menggunakan sepatu jenis tersebut tanpa kaus kaki, maka hukum mengusap sepatu jenis tersebut tidak sah menurut pendapat yang rajih, karena sepatu jenis tersebut bahwa tidak menutup secara sempurna bagian kaki yang wajib dibasuh saat berwudhu.
  • Apabila seseorang menggunakan sepatu jenis tersebut sekaligus menggunakan kaus kaki, maka sepatu jenis tersebut dan kaus kaki yang digunakan tersebut dihukumi sebagai satu kesatuan, yaitu sebuah sepatu dengan dua lapisan, yaitu “lapisan luar” (sepatu jenis kedua) dan “lapisan dalam” ( kaus kaki), jika demikian maka:
  • Boleh mengusap lapisan luar (sepatu ataupun sendal) jika ia wudhu lalu memakai kaos kaki dan sepatu (lapisan luar). Dasarnya adalah keumuman hadits Rasulullah SAW ketika Al Mughirah bin Syubah RA hendak melepas kedua khuf-nya dari kedua kaki Beliau SAW, “Biarkan, karena sesungguhnya aku menggunakannya dalam keadaan suci.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apa Hukumnya jika Melepas “Lapisan Luar”?

Apabila seseorang melepas bagian “lapisan luar” setelah mengusapnya dengan ketentuan-ketentuan hukum khuf, maka hukumnya mengikuti ketentuan berikut:

  • Menurut pendapat shahih para ulama, tetap dalam kondisi suci tanpa perlu kembali mengulang wudhu atau membasuh kakinya. Hal tersebut merujuk pada tindakan sahabat Ali RA yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Imam Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar dan lafaz dari beliau (Atthahawy), dari Abu Zhibyan, bahwa beliau melihat Ali RA buang air kecil sambil berdiri, kemudian mengambil air dan berwudhu, lalu mengusap kedua sendalnya. Kemudian, Beliau RA masuk ke dalam masjid dan melepas sendalnya. Atsar itu dapat dijadikan rujukan karena tidak ada sumber hukum lainnya yang isinya berlawanan dengan tindakan/atsar Ali r.a. tersebut.
  • Orang tersebut tak berhak menggunakan kembali “lapisan luar” yang telah dilepas dan mengusapnya saat berwudhu kembali, baik ketika menggunakan kembali “lapisan luar” tersebut dalam keadaan berhadats ataupun dalam keadaan suci yang dicapai dengan mengusap “lapisan dalam”. Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur ulama yang menganggap bahwa secara eksplisit makna suci pada hadits “… karena aku menggunakannya dalam keadaan suci” adalah keadaan suci dengan wudhu yang disertai membasuh kaki.
  • Setelah melepas sepatu (alas kaki luar), diperbolehkan bagi seseorang untuk hanya mengusap kaos kali (alas kaki dalam) dengan syarat menggunakannya setelah wudhu dengan membasuh kaki.

Hukum Mengusap Khimar (Jilbab/Kerudung)

Terdapat dua pendapat di antara para ulama mengenai hukum mengusap khimar (jilbab) ketika berwudhu.

  • Jumhur ulama tidak memperbolehkan mengusap khimar tanpa mengusap kepala secara langsung, karena itulah yang diperintahkan oleh Allah SWT secara langsung, “… dan usaplah kepalamu.” Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengusap selain kepala. Selain itu, ulama beranggapan bahwa tidak ada kendala berarti untuk seorang wanita untuk melepas khimarnya kemudian mengusap kepalanya.
  • Ulama Madzhab Hambali/Imam Ahmad dan sebagian kelompok ulama memperbolehkan seorang wanita untuk membasuh khimarnya yang menjuntai hingga melebihi batas tenggorokan. Pendapat tersebut didasari dari atsar shahabiyah Ummu Salamah RA yang pernah mengusap khimarnya saat berwudhu. Diriwayatkan dalam kitab Al-Mushannif oleh Abu Syaibah dan Ibnu Mundzir dengan sanad shahih.

Pendapat yang lebih berhati-hati, sebaiknya hanya dilakukan pada kondisi-kondisi yang mengharuskan wanita tersebut untuk melakukannya, seperti karena cuaca yang dingin atau takut tersingkap auratnya di depan nonmahramnya. Dalam kondisi tersebut, maka hendaknya wanita tersebut mengusap khimarnya juga sebagian rambutnya.
Ketika ditanyakan perkara tersebut, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawa berkata, “Segala puji bagi Allah. Sesungguhnya ketika seorang wanita khawatir terhadap cuaca yang dingin ataupun hal sejenisnya kemudian mengusap khimarnya saat berwudhu, ketahuilah sesungguhnya Ummu Salamah RA pernah mengusap khimarnya saat berwudhu. Hendaklah wanita tersebut juga mengusap sebagian rambutnya. Apabila tidak ada hajat/keperluan yang mengharuskannya untuk mengusap rambut, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama.” (Majmu Fatawa 21/218)

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

  • Masa berlaku maksimal dibolehkannya seseorang untuk mengusap khuf adalah satu hari satu malam (24 jam) bagi seseorang yang mukim, dan tiga hari tiga malam (72 jam) bagi seorang yang berpergian. Hal tersebut berdasarkan isi hadits yang disampaikan oleh Ali RA yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan masa 3 hari 3 malam untuk musafir dan 1 hari 1 malam untuk orang yang mukim.
  • Masa tersebut bermula sejak pertama kali seseorang mengusap khuf, baik ia melakukannya dalam kondisi berhadats ataupun hanya memperbaharui wudhunya. Hal ini didasari pada zahir hadits, “Mukim boleh mengusap khuf satu hari satu malam, musafir tiga hari tiga malam.
  • Ketika seseorang telah melewati masa berlaku kebolehan mengusap khuf tetapi masih dalam keadaan berwudhu, maka pendapat yang shahih adalah wudhunya tidak batal. Namun, setelah itu, dia tidak boleh lagi mengusap khuf saat berwudhu.
  • Agar tindakan mengusap khuf dianggap sah, maka seseorang harus menggunakan khuf/kaus kaki dalam keadaan telah suci/sudah melakukan thaharah. Hal tersebut didasarkan kepada hadits yang disampaikan dari Al-Mughirah bin Syubah RA, dimana pada suatu malam Beliau RA tengah bersama dengan Nabi SAW, kemudian menyebutkan bagaimana Rasulullah SAW berwudhu saat itu dan berkata, “Rasulullah SAW mengusap kepalanya dan kemudian aku ingin membantu melepaskan kedua khuf yang dipakai oleh Beliau SAW, dan Beliau SAW berkata, ‘Biarkanlah kedua khuf itu tetap terpakai, karena sesungguhnya aku menggunakannya saat dalam keadaan suci,’ lalu beliau mengusapnya.” (HR. Bukhari dan Muslim ).

Membasuh Khuf dan Logika

Seorang hamba wajib mengikuti hukum Allah SWT walaupun ia tak mengetahui hikmah yang terkandung dibaliknya secara terperinci, karena akal tak bisa mengetahui kebenaran secara terperinci kecuali lewat syariat, walau akal bisa membedakan yang baik dan buruk.

Ali RA berkata, “Seandainya beragama hanya dengan akal maka membasuh khuf bagian bawah lebih utama dari pada membasuh bagian atasnya.” (Abu Dawud 162)

Ringkasan

  1. Diperbolehkan mengusap sepatu sebagaimana mengusap khuf, dengan catatan sepatu yang digunakan menutup bagian kaki yang harus dibasuh saat berwudhu secara sempurna (yaitu seluruh bagian kaki berikut mata kaki).
  2. Diperbolehkan mengusap sepatu yang tidak menutup bagian yang harus dibasuh saat berwudhu apabila seseorang menggunakan kaus kaki di dalamnya, dan orang tersebut menggunakan kedua kaus kaki dan sepatunya dalam keadaan sudah suci, yang mana kesucian tersebut dicapai dengan membasuh kakinya.
  3. Apabila seseorang menggunakan sepatu dan kaus kaki sekaligus, maka keduanya dihukum sebagai satu kesatuan, yang mana dimisalkan sebagai sebuah sepatu yang memiliki “lapisan dalam” dan “lapisan luar”.
  4. Apabila seseorang melepaskan bagian “lapisan luar” yang dipakai kakinya, maka diperbolehkan mengusap “lapisan dalam”nya saja.
  5. Apabila seseorang melepaskan bagian “lapisan luar” kemudian kembali menggunakannya, ia tidak boleh mengusap lapisan luar saat berwudhu apabila ia menggunakannya kembali setelah mengusap kaos kaki (lapisan dalam).

Hukum mengusap sepatu

Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fiqih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (1) Ibadah, Pasal (1) Thaharah, diterjemahkan oleh Farhan, dan disunting oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.