Apakah Pelajar di Rantau Termasuk Musafir?

Published by forkitajp on

Beberapa keringanan bagi musafir

Allah SWT mengatur hukum khusus safar untuk memberi kelonggaran dan kemudahan bagi hamba-Nya dan untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan yang biasa dihadapi oleh seorang musafir. Di antara ketentuan hukum-Nya adalah:

  1. Mengusap khuf (sebagai ganti mencuci kaki dalam wudhu) tiga hari tiga malam.
  2. Anjuran mengqasar shalat yang berakaat empat kalau tidak shalat bersama imam yang menyempurnakan shalat.
  3. Boleh menjamak Shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya. Dan jika dalam kondisi bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain maka hukumnya menjadi dianjurkan.
  4. Boleh tidak puasa Ramadhan dan menqadhanya di waktu lain.
  5. Dll.

Tapi, apakah hukum tersebut berlaku saat musafir sudah sampai di tempat tujuan?

Di tempat tujuan, kondisi menetap yang seperti apa yang memutus hukum safar?

Menurut ijma’ ulama, barang siapa pergi ke suatu tempat dengan niat tinggal menetap dan tak ada niat untuk kembali menetap di tempatnya semula maka hukum safarnya putus begitu sampai di tempat tujuan.

Adapun yang pergi ke suatu tempat dengan niat tinggal sementara, dan berniat kembali ke tempatnya semula, maka ada dua kemungkinan.

  1. Tinggal sementara waktu menunggu keperluan selesai tapi masa tinggal belum pasti, bisa lama bisa cepat tergantung kondisi. Hukumnya, boleh mengambil keringanan safar walau waktunya memanjang. Ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, serta Syafii dalam salah satu pendapatnya.

    Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah SAW ketika Fathu Makkah dan Perang Tabuk, serta amalan banyak shahabat di masa perang, bahkan Al Imam At Tirmizy mengatakan, “Ulama sepakat bahwa musafir tetap mengqasar shalat jika dia tak berniat menetap walaupun bertahun-tahun.” (Sunan At Tirmizy 2/431).

    Tapi ulama berbeda pendapat jika sang musafir memperkirakan bahwa kebutuhannya menetap untuk meyelesaikan keperluannya akan memakan waktu lebih dari kadar waktu safar, jika setiap hari ia menunggu waktu untuk safar.

    Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa musafir tetap dalam hukum safar walaupun ia mengira bahwa perlu waktu banyak untuk menyelesaikan kebutuhannya, jika ia tidak tahu kapan persis waktunya.

  2. Tinggal di tempat tujuan untuk waktu yang sudah ditentukan seperti untuk bisnis trip, konferensi, pelatihan, tugas belajar, dll yang semuanya jelas waktunya. Ada dua pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama:
    • Pendapat jumhur termasuk empat mazhab utama mengatakan bahwa hukum safar terputus jika masa tinggal melebihi beberapa hari (mereka berbeda pendapat dalam jumlahnya). Jika niat tinggal melewati waktu tersebut maka sang musafir berganti status jadi muqim (menetap) begitu sampai di tempat tujuan.
    • Ibnu Taimiyah, Ibnu Al Qayyim dan beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa musafir tersebut tetap dalam hukum safar selama ia tak ada niat untuk menetap di tempat tujuan dan ingin kembali ke negeri asal.

    Pendapat yang rajih adalah yang pertama, alasannya:

    1. Firman Allah SWT:

      فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ

      Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa).” (QS. An Nisa’: 103)

      Setelah Allah SWT mensyariatkan shalat qasar kuantitatif (mengurangi bilangan rakaat) ketika dalam kondisi safar, dan shalat qasar formatif (shalat khauf) ketika ada rasa takut terhadap serangan musuh, Allah SWT menjelaskan “Kemudian apabila kamu telah merasa aman maka laksanakanlah shalat (sebagaimana biasa),” yaitu jika rasa takut sudah hilang maka laksanakanlah shalat dalam bentuknya yang normal, dan jika safarmu sudah selesai laksanakanlah shalat dengan rakaat lengkap.

      Di ayat sebelumnya Allah SWT berfirman:

      وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ

      Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar shalat.” (QS. An Nisa’: 101)

      Qasar dalam ayat di atas dibatasi oleh bepergian di permukaan bumi, artinya tidak dibolehkan jika bepergian sudah selesai. Pengertian ini diambil dari dua ayat setelahnya “jika kamu telah merasa aman maka laksanakanlah shalat (sebagaimana biasa), sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktunya” (QS An Nisa’: 103). Al ithmi’nan (ketenangan) yang dimaksud adalah ketenangan fisik dari bergerak dan berpindah, serta ketenangan hati dari rasa takut.

      Dengan pengertian tersebut menjadi jelas bahwa shalat qasar berakhir ketika bepergian di permukaan bumi sudah selesai, atau apa yang dinamakan dengan istilah ithmi’nan (tenang). Adapun mejadikan tempat tujuan sebagai negeri baru (tinggal permanen) adalah merupakan ukuran yang jauh lebih dari sekedar berhenti dari bepergian. Jadi ketika seorang muslim berhenti dari bepergian dan menetap untuk beberapa waktu maka ia wajib menyempurnakan shalat.

      Ibnu Abdil Barr berkata, “Pada asalnya setiap orang muqim (menetap) maka ia wajib menyempurnakan shalat, kecuali ada pengecualian dari sunnah atau ijma, dan dalam sunnah sudah diterangkan kadar waktu safar, siapa yang melewati tersebut wajib menyempurnakan shalat.” (Al Istidzkaar 2/247)

    2. Larangan Rasulullah SAW terhadap muhajirin untuk tinggal di Makkah lebih dari tiga hari. Rasulullah SAW bersabda:

      ثلاث للمهاجر بعد الصدر

      Muhajir (sahabat yang hijrah dari Makkah ke Madinah) boleh tinggal tiga hari di Makkah setelah pulang dari Mina (setelah melaksanakan ibadah haji).” (HR. Bukhari).

      Dan dalam riwayat Muslim ada tambahan dari perawi, “Sepertinya Rasulullah SAW mengatakan tidak boleh menambah (lebih dari tiga hari).”

      Ibnu Hajar berkata, “Fiqih hadits tersebut adalah diharamkan bagi muhajir untuk tinggal di Makkah sebelum ditaklukkan, tetapi dibolehkan dalam rangka haji atau umrah untuk tinggal di Makkah tiga hari setelah selesai pelaksanaan haji atau umrah, tidak boleh lebih. Karena itu Rasulullah SAW sangat bersedih atas kematian Sa’ad bin Khaulah di Makkah. Dari Hadits itu disimpulkan bahwa tinggal selama tiga hari tak merobah status musafir menjadi muqim.” (Fathul Baary 7/267)

    3. Larangan Umar RA bagi orang Yahudi untuk tinggal di Madinah untuk bisnis lebih dari tiga hari. Al Baihaqy meriwayatkan dari Aslam maula Umar (budak yang dimerdekakan Umar bin Khattab) bahwa Umar RA memberi batasan tiga malam tinggal di Madinah untuk orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi berbisnis dan menyelesaikan keperluan, mereka tak boleh tinggal lebih dari itu.” (Sunan Al Baihaqy 5662)

      Jika mereka tinggal lebih dari itu mereka seperti orang muqim, sementara rasulullah saw telah memerintahkan untuk mengeluarkan mereka dari Madinah.

      Al Imam Asy Syafi’iy berkata, “Hadits Rasulullah SAW tentang bolehnya muhajir tinggal di Makkah tiga hari menunjukkan batas safar, lebih dari itu maka ia menjadi muqim. Keputusan Umar RA mengusir ahluz zimmah (non-muslim yang mendapat perlindungan) dari Madinah dan izin tinggal bagi mereka sebagai pedagang tak lebih dari tiga hari sesuai apa yang tersebut dalam sunnah.” (Al Umm 1/215)

    4. Fatwa para sahabat Rasulullah SAW yang menyebutkan adanya pembatasan waktu safar, di antaranya:
      • Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa beliau berkata, “Saya shalat musafir jika saya tak berniat menetap, walaupun saya tinggal sampai dua belas malam.” (Al Muwattha 343)
      • Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah dalam sebuah safar tinggal selama 19 hari dan mengqasar shalat, oleh itu kami jika safar 19 hari kami mengqasar shalat, jika lebih kami menyempurnakan shalat.” (Bukhary 1030)
      • Adapun riwayat dari beberapa sahabat yang mengambil rukhshah safar dalam waktu lama untuk berperang dan lainnya, maka Ibnu Abdil Barr memberi komentar, “Riwayat seperti itu untuk yang tidak ada niat menetap dalam jangka waktu tertentu yang termasuk jangka safar, seperti orang yang berkata hari ini saya akan pulang, besok akan pulang, jika seperti ini maka tidak ada keinginan kuat untuk tinggal menetap.” (At Tamhid 11/184)
    5. Dalam masa-masa awal Islam tak diketahui ada yang menyalahi pendapat jumhur, bahkan Ishak bin Rahawaih melepaskan pendapatnya bahwa tak ada batas safar ketika tahu bahwa para ulama di wilayah-wilayah negeri Islam di masanya sepakat berpendapat bahwa safar ada batas waktunya. Disebutkan dalam Al Awsath oleh Ibnul Mundzir (7/150), “Terdapat pendapat ke sepuluh dalam masalah ini seperti dikatakan oleh Ibnu Rahawaih. Ia berkata, ‘Pendapat ini juga merupakan pendapat ulama lain yang merupakan minoritas, mereka mengatakan bahwa shalat musafir adalah selama engkau tak kembali ke keluargamu, kecuali jika kamu tinggal di negeri dimana di situ terdapat keluarga dan hartamu maka negeri itu adalah negerimu..’” dan beliau menyertakan beberapa beberapa atsar yang bisa dijadikan dalil. Pengarang (Ibnul Mundzir) menambahkan, “Abu Bakar berkata, ‘Ishak berpegang kepada beberapa atsar tadi atas pendapatnya bahwa tak ada batas waktu untuk safar, lalu ia melepas pendapatnya tersebut ketika mengetahui adanya ijma ulama di wilayah-wilayah Islam tentang adanya batas waktu safar yang disepakati di antara mereka, dan di antara ijma mereka adalah batas waktu kurang dari dua puluh malam’.

Kondisi pelajar di negeri rantau

Pelajar di negeri rantau tinggal di tempat tersebut dalam waktu lama yang sudah ditentukan sebelumnya, jadi hukumnya seperti muqim (menetap), dan tak boleh mengambil rukhshah safar seperti pendapat empat mazhab yang telah disebutkan tadi.

Pelajar di rantau dalam kondisi menetap dan tenang, tak seperti orang yang melakukan perjalanan dalam waktu lama untuk wisata dan semisalnya, ditandai dengan:

  • Menyewa apartemen/rumah beserta perabotannya. Dan jika punya rumah di kampung, mungkin dia sudah kosongkan dan sewakan ke orang lain.
  • Membeli kendaraan, dan mungkin kendaraan di kampung sudah dijual atau diserahkan kepada kerabat.
  • Membuka rekening untuk transaksi keuangan.

Intinya, pelajar di rantau adalah muqim di negeri ia belajar, hukum safarnya terputus begitu ia sampai di tempat tersebut, menurut pendapat jumhur berdasarkan dalil dari Quran, Sunnah, dan pendapat para sahabat.

Begitupun jika ia pulang berlibur menjenguk keluarga dan kampungnya, dia tak berhak mengambil rukhshah safar begitu ia sampai di tempat tujuan. Dia hanya bisa mengambil rukhshah safar dalam perjalanan ke kampungnya, begitu pun sebaliknya ketika ia kembali ke tempat belajar, hukum safar terputus begitu sampai di tempat tujuan.

Batas waktu safar

Para ulama berbeda pendapat tentang jangka waktu dimana jika seorang berniat tinggal di tempat tujuan safar dalam jangka tersebut maka hukum safarnya terputus. Ada tiga pendapat yang masyhur.

  1. Jika berniat tinggal empat hari, maka ia menyempurnakan shalat. Jika kurang dari itu maka ia mengqasar shalat. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki dan Syafii, dan merupakan salah satu pendapat Mazhab Hambali. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah termasuk hari kedatangan dan kepulangan atau tidak.
  2. Jika niat tinggal melebihi 21 waktu shalat dia langsung menyempurnakan shalat. Jika kurang dari itu, ia mengqasar shalat. Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Mazhab Hambali.
  3. Jika berniat tinggal 15 hari ia menyempurnakan shalat. Jika kurang dari itu ia mengqasar shalat. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi.

Yang kuat adalah pendapat jumhur (pendapat pertama). Dalilnya adalah:

  • Larangan Rasulullah SAW kepada kaum muhajirin untuk tinggal di Makkah lebih dari tiga hari.
  • Larangan Umar RA kepada pedagang Yahudi dan Nasrani untuk tinggal di Madinah lebih dari tiga hari.
  • Jangka waktu tersebut adalah jangka waktu terpanjang dimana Rasulullah SAW mengqasar shalat dalam perjalanan sesampainya di tempat tujuan, dengan masa yang sudah diniatkan dan diketahui sebelumnya. Rasululullah SAW dalam perjalanan Haji Wada sampai dan Shalat Zhuhur di Makkah tanggal 4 Zulhijjah, lalu beliau menetap di Makkah tanggal 5, 6, dan 7 Zulhijjah. Tanggal 8 Zulhijjah pergi ke Mina dan Shalat Zhuhur di sana. Imam Nawawi berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukan bahwa musafir jika berniat tinggal kurang dari empat hari selain hari masuk dan hari keluar, maka ia mengqasar shalat, tiga hari tersebut tidak terhitung iqamah (menetap).” (Syarah Muslim 5/203)

Apakah pelajar di rantau musafir

Ingat!

  1. Allah SWT mensyariatkan hukum safar sebagai keringanan dan rahmat dari-Nya
  2. Pelajar di rantau hukumnya muqim, keringanan safar terputus begitu sampai di tempat tujuan. Ini adalah pendapat jumhur dari empat mazhab dan lainnya.
  3. Jika pelajar pulang berlibur di kampung dan keluarganya maka ia tak boleh mengambil keringananan safar begitu sampai di tempat tujuan.
  4. Jika seorang musafir tak tahu atau tak ada niat untuk tinggal dalam masa tertentu maka ia mendapat keringanan safar walaupun akhirnya tinggal dalam waktu lama.
  5. Jika seorang musafir sudah ada niat untuk tinggal di tempat tujuan lebih dari tiga hari selain hari masuk dan keluar, maka hukum safarnya terputus begitu sampai di tempat tujuan.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fiqih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (1) Ibadah, Pasal (2) Shalat, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.