Upaya Pemerintah Jepang Mencegah Keruntuhan Medis Akibat Virus Corona

Published by forkitajp on

Resiko keruntuhan medis sudah diperkirakan oleh Jepang karena peningkatan dengan cepat pasien dengan virus corona (covid-19), khusus nya di Tokyo dan 6 kota besar lainnya.

Sudah hampir 82.000 orang meninggal di seluruh dunia, dan total positif covid yang terdata hampir 1,5 juta orang. Yang paling terasa di Spanyol, Italia dan Amerika. Oleh karena itu, Jepang mengambil langkah-langkah antisipasi untuk menurunkan angka yang meninggal. Di Jepang, dari 3.900 yang positif covid, sejauh ini angka yang meninggal sebanyak 92 orang.

Visi Jepang bukan soal mencegah angka penyebaran virus corona, tapi mencegah agar tidak meninggal. Agar tidak meninggal, sistem medis/pelayanan kesehatannya harus kuat dan JANGAN RUNTUH.

Saya ingin mengomentari, berbagi, dan berpendapat terkait apa itu keruntuhan medis, dan masalah serta tindakan untuk mencegahnya.

Apa itu keruntuhan medis?

Jumlah pasien melebihi perbandingan jumlah dokter, staf medis, dan sumber daya medis (ruang medis, tempat tidur, alat pelindung infeksi, respirator, dll.) Pasien akan terlantar dan tidak dapat menerima perawatan medis yang diperlukan.

Berapa banyak pasien di Tokyo yang dapat dirawat dan seberapa banyak lagi kemampuan yankes (pelayanan kesehatan) di Tokyo?

Sebenarnya, ini tidak mudah untuk dipahami. Ada 118 ruang khusus infeksi skala besar di 15 rumah sakit di Tokyo. Setiap rumah sakit mempunyai 118 ruang khusus infeksi/ruang isolasi.

Tapi itu tidak cukup untuk merawat pasien covid-19 karena covid-19 bukan infeksi biasa, jadi harus menggunakan ruang yang berventilasi baik.

Oleh karena itu, di Jepang sudah dibuka pelayanan pemeriksaan penyakit menular yang bekerja sama dengan institusi medis (sekitar 80 rumah sakit, biasanya RS ini tidak di pakai untuk merawat pasien biasa).

Pada prinsipnya, pasien dengan penyakit menular harus dirawat di ruang isolasi. Namun, saat ini pasien covid meningkat dengan cepat dan drastis, akhirnya banyak rumah sakit yang menggunakan ruang nonisolasi dan dijadikan ruang perawatan (1 kamar besar untuk 4 pasien).

Kurangnya kamar membuat rumah sakit sangat sulit untuk menerima pasien baru, dan sudah ada kasus dimana dilaporkan lebih dari 20 rumah sakit telah dihubungi, tetapi tidak dapat menerima pasien (di luar pasien covid).

Sebagai gambaran, di rumah sakit tempat saya bekerja, sudah tidak menerima pasien poliklinik umum dan tidak melaksanakan operasi pada pasien-pasien penyakit ringan yang bisa ditunda (seperti katarak, tumor ringan, dll).

Walaupun Gubernur Tokyo, Ibu Koike, mengatakan pada konferensi pers 6 April bahwa ia telah menyiapkan 1.000 tempat tidur saat ini, dan total target nya mencapai 4.000 tempat tidur, tetapi jumlah pasien di Tokyo saat ini meningkat dua kali lipat dalam lima hari. Jika tetap dibiarkan, selanjutnya akan sampai angka 10.000 orang (dalam dua minggu) dan 80.000 dalam sebulan.

Jadi walaupun kamar di rumah sakit ada, perawatan tidak akan terjadi kecuali adanya seorang dokter, perawat, dan peralatan medis yang cukup, sehingga tidak dapat dinyatakan bahwa semua aman-aman saja.

Jika Jepang tidak memiliki cukup kamar rumah sakit, mengapa tidak menyewa hotel atau fasilitas lain dan merawatnya di sana?

Ya, Jepang bergerak ke arah itu.

Orang yang terinfeksi dengan virus corona, harus diisolasi, bahkan jika mereka tidak memiliki gejala seperti demam panas. Ini bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain (umumnya dua minggu).

Saat ini, sebagian besar pasien rawat inap dengan corona virus tidak menunjukkan gejala atau ringan.

Oleh karena itu, saat ini Kementerian Kesehatan Jepang sudah mengumumkan kebijakan untuk mengizinkan orang-orang seperti itu (bergejala ringan) pindah ke rumah sendiri atau akomodasi yang disiapkan oleh prefektur (hotel). Jadi rumah sakit hanya untuk pasien yang sakit parah.

Pemerintah Tokyo mulai mentransfer pasien tanpa gejala dan sakit ringan dari 7 April ke hotel sewaan. Kecuali, mereka yang berisiko tinggi menjadi parah (orang lanjut usia, orang dengan penyakit bawaan, orang yang menggunakan obat antikanker, wanita hamil, dll)

Apakah tidak masalah tuh kalau pasien tanpa gejala atau sedikit gejala, pindah ke rumah mereka atau akomodasi baru (hotel)?

Pertama, itu tidak berarti bahwa semua pasien yang tidak menunjukkan gejala atau sakit ringan akan ditransfer. Sesuai kebijaksanaan dokter yang merawat, relokasi akan dilakukan dengan persetujuan pasien.

Pasien yang direlokasi, sudah disetujui dan diberikan rekomendasi penasehat yang dikeluarkan oleh pusat kesehatan masyarakat setempat.

Pada saat ini, satu-satunya tempat yang akan dipindahkan dari rawat inap adalah fasilitas/hotel, bukan rumah.

Kedua, sekalipun tanpa gejala atau ringan, ada kemungkinan bahwa penyakit tersebut akan ditularkan ke orang lain, jadi perlu memastikan bahwa pengendalian epidemi (pencegahan penyakit menular) di lokasi relokasi.

Jika di rumah, tentu mungkin khawatir tentang anggota keluarga. Kementerian Kesehatan sudah menyiapkan/mengumumkan delapan poin untuk diperhatikan jika di rawat di rumah.

Ketiga, gejala sakit umumnya ditunjukkan dalam lima tahap. Asimptomatik, ringan, sedang, berat, dan serius.

Gejala ringan adalah pasien yang tidak membutuhkan oksigen (bantuan oksigen). Saat ini, perlunya menggunakan masker oksigen adalah kriteria untuk menentukan apakah kondisinya ringan atau tidak. Dengan demikian, klasifikasi gejala berbeda dari pengertian umum dan komunitas medis lain di luar jepang.

Selain itu, ada banyak laporan kasus ringan menjadi parah dalam waktu singkat. Karena itu, menanggapi pasien di hotel/fasilitas, yang disediakan bukan sekadar masalah menyiapkan tempat tidur saja. Tetapi, pengadaan staf medis seperti dokter, perawat, dan peralatan medis, seperti peralatan pelindung infeksi (walaupun itu tidak mudah).

Saat ini, ada kebijakan bahwa dokter dan perawat akan ditempatkan di fasilitas/hotel tersebut.

Di fasilitas hotel tersebut, pasien mengganti seprai dan membersihkan kamar sendiri. Makanan disediakan dengan kotak bento. Kunjungan tidak dimungkinkan, karena penyakit dapat tertramsmisi ke orang lain. Pasien tidak bayar 100 persen biaya hotel dan pengobatannya (mungkin akan mengacu kepada sistem askes di Jepang).

Jika tidak ada ledakan infeksi (overshoot), apakah keruntuhan medis tidak akan terjadi?

Tanpa menunggu ledakan infeksi (yang menyebabkan peningkatan mendadak jumlah pasien), situasi saat ini berada di ambang kehancuran medis.

Ada banyak laporan tentang kasus yang menularkan ke staf medis, seperti dokter dan perawat. Akibatnya, tenaga medis tersebut menunggu di rumah selama dua minggu (dikarantina). Akhirnya, berkurangnya staf medis telah menyebabkan beberapa kasus serius seperti konsultasi rawat jalan dan ambulans telah dihentikan selama lebih dari dua minggu di rumah sakit.

Penyebab keruntuhan medis lainnya:

  1. Kurangnya peralatan medis yang diperlukan untuk pemeriksaan dan konsultasi membuat sulit untuk menyediakan perawatan yang diperlukan.
  2. Karena virus corona mudah tertransmisi ke orang lain, perlu ruang tekanan negatif atau ruang pribadi yang berventilasi baik. Juga dibutuhkan ruang bagi dokter dan perawat untuk mengganti pakaian pelindung. Oleh Karena itu, dibutuhkan banyak ruang fisik. Dengan kata lain, efeknya mempengaruhi pasien dengan semua penyakit.

Kondisi medis di Tokyo saat ini dalam kondisi para profesional medis semakin menumpuk kelelahannya, situasinya semakin parah. Jadi, sudah berada dalam situasi kritis seperti ini, tanpa menunggu ledakan infeksi (overshoot) dimana jumlah pasien meningkat sekaligus, keruntuhan medis pun bisa terjadi.

Apa yang akan terjadi jika pasien meningkat secara eksplosif di masa depan?

Melihat situasi di New York (Amerika Serikat), Italia, dan Spanyol, saya merasa takut dan khawatir.

Seperti yang kita lihat dari contoh-contoh di kota itu, gangguan medis lebih dari sekadar krisis di pihak rumah sakit. Masalahnya pasien tidak dapat menerima perawatan medis yang diperlukan (tidak hanya untuk pasien dengan virus corona, tetapi juga untuk penyakit lain). Ini adalah krisis yang sangat serius.

Ini harus dihindari bagaimanapun caranya!

Apa yang harus saya lakukan untuk mencegah keruntuhan medis?

Berusaha keras untuk mencegah agar tidak tertular dan menularkan. Dan tetap sehat, dan jangan ke rumah sakit!

—-

Demikian, ulasan dan pendapat pribadi saya, hasil rangkuman mengikuti beberapa pertemuan di rumah sakit (karena kebetulan saya menjadi salah satu staf penanggung jawab infeksi di tempat saya bekerja).

Dukungan untuk rumah sakit yang menghadapi krisis manajemen yang serius belum banyak dibahas, tetapi itu adalah tugas yang sangat mendesak untuk mempertahankan keadaan rumah sakit.

Asosiasi Medis Jepang mengumumkan “Deklarasi Situasi Medis Kritis” pada tanggal 1 April dan Asosiasi Medis Tokyo mengumumkan “Deklarasi Keadaan Darurat Medis” pada tanggal 6 April.

Keduanya ‘berteriak’ bahwa situasi medis Jepang akan runtuh jika tidak diambil langkah langkah yang tepat.

Apakah runtuhnya perawatan medis di Tokyo dapat dicegah atau tidak, tergantung pada bagaimana kita masing-masing dapat mengurangi kemungkinan kontak dengan orang lain.

Dan akhirnya sampai tanggal 6 Mei, periode deklarasi darurat sudah dikeluarkan.

Sebagai warga yang baik dan hidup di negara orang, saya mengajak WNI yang ada di Jepang untuk mematuhi dan tidak keluar rumah jika tidak diperlukan.

Dan saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang bekerja keras untuk memerangi risiko infeksi, membaca tulisan ini, dan mau mensharenya kepada orang lain.

8 April 2020
Mohamad Yusup (Perawat Indonesia yang bekerja di rumah sakit umum di Tokyo, Jepang)


Kontributor: Mohamad Yusup, Editor: Abdul Aziz