Serial Muslim Jepang #3: Keimanan itu Dipelajari dari Masa Lalu
Hari ini kali ketiga kami bicara dari hati ke hati. Kami adalah dua orang ibu yang sama-sama memiliki anak laki-laki. Perbedaan kami ada pada keimanan. Ibu yang duduk di hadapan saya belum beriman kepada Allah SWT. Pembicaraan kami seputar pendidikan anak laki-laki dan keimanan. Suami dan anak laki-laki dari ibu ini adalah muslim. Namun ibu ini masih merasa sebagai penganut Buddha meski saat menikah dulu tercatat agamanya Islam.
Pada pertemuan kedua kami pekan lalu, saya coba praktekkan apa yang sahabat muda kami, Kaiji Wada san, ajarkan tentang kiat mengajarkan keimanan kepada orang Jepang. Kata Kaiji san, keimanan adalah hal yang abstrak. Orang Jepang agak susah mengerti keimanan untuk hal yang belum terjadi. Keimanan lebih mudah dipahami jika kita bicara tentang masa yang sudah dilalui. Saya mencoba kiat dakwah ini kepada ibu Jepang ini. Beberapa contoh saya coba berikan untuk menjelaskan betapa segala hal yang sudah terjadi bukan lah suatu kebetulan. Semuanya terjadi atas kehendak Allah. Pekan lalu, Ibu Jepang ini hanya mengangguk dan tidak bercerita tentang kisahnya.
Betapa terkejutnya saya, di pertemuan ketiga kami hari ini Ibu Jepang ini bercerita kisahnya. Bahwa kedatangannya ke Jepang bersama suami dan anaknya, bermula dari sebuah kejadian yang mengguncangkan keluarga kecil ini. Sang ayah mendapatkan hasil pemeriksaan dari dokter di negara asal mereka tinggal sebelumnya, bahwa ayah menderita kanker stadium 4. Ibu Jepang ini bercerita, itu awal mula kenapa mereka pindah ke Jepang, yaitu karena sang ayah mau berobat. Tidak terpikir oleh Ibu ini bahwa ini menjadi jalan baginya untuk mulai belajar Islam.
Lalu ia bertanya, bagaimana ini semua dapat terjadi? Kami buka Al-Qur’an masing-masing untuk mendapatkan jawaban tentang hidayah. “Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan mendapatkan hidayah (petunjuk), niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sempit dan sesak seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat 125). Saya membaca terjemahan dalam bahasa Indonesia, dan si Ibu membaca terjemahan dalam bahasa Jepang.
Ibu ini mengangguk-angguk. Ayat ini seolah-olah berbicara padanya, menjelaskan segala pertanyaan yang mungkin mengganggu pikirannya. Saya lihat di matanya dan juga saya rasakan getaran suara dari setiap kalimat penuh makna yang diucapkannya. Secercah keimanan semoga mulai Allah teteskan di hatinya. Aamiin yaa Rabb.
Kontributor: Bunda 3F