Serial Muslim Jepang #2: Seperti Keimanan yang Dimiliki oleh Ka’ab bin Malik
Malam itu saya duduk di depan TV tapi bukan untuk nonton. Di depan saya ada tumpukan kertas-kertas tanda terima (receipt) dari berbagai toko, supermarket, dokter, dan bukti pembayaran lainnya selama sebulan. Sambil sibuk pencet-pencet kalkulator dan menuliskan totalnya di kakeibo (pembukuan rumah tangga), saya dengar acara TV yang sedang membuat quiz menebak nama artis. Jadi ada wajah artis yang ditunjukkan ke masyarakat awam, dan masyarakat memberikan kesan-kesan mereka tentang artis ini. Sementara peserta di studio TV disuruh menebak siapa kira-kira artis itu. Biasanya sifat yang disebut-sebut sebagai hint (kata kunci) adalah kelebihan-kelebihan artis tersebut. Salah satu yang disebutkan oleh masyarakat awam tentang artis ini. “Kayaknya dia ini orang yang punya banyak teman.”
Mendengar kalimat itu, saya teringat saat membahas kisah sahabat Nabi yang bernama Ka’ab bin Malik bersama beberapa teman muslimah. Teman saya itu bilang, “Di sekolah-sekolah Jepang, adalah hal yang menakutkan jika tidak punya teman.” Perasaan tidak dipedulikan orang lain, seperti yang dialami oleh Ka’ab bin Malik yang kompak dicuekin oleh semua umat muslim se-Madinah, tentu membuat Ka’ab sedih sekali. Namun Ka’ab masih beruntung, karena dicuekinnya masih ada batas akhirnya, yaitu selama 50 hari. “Kalau di sekolah-sekolah Jepang, jika ada satu anak yang dibully, maka semua anak akan kompak tidak mau bicara dengan anak ini, dan itu tidak tahu sampai kapan,” kata teman saya yang semasa SMP-nya dia habiskan di SMP Negri di Jepang.
Pikiran saya lompat lagi ke kisah seorang ibu Indonesia yang menceritakan bagaimana anak laki-lakinya yang sejak SD sampai SMK di Jepang mengalami masa-masa berat karena dibully. Tidak ada yang mau berteman dengan anaknya ini, sehingga akhirnya saat sudah SMK anaknya ini curhatnya ke kucing liar yang ada di dekat rumahnya. Kata anak itu ke Ibunya, “Kalau tidak seperti itu, mungkin saya bisa bunuh diri.” Alhamdulillah anak itu akhirnya sekarang sudah bekerja dan bisa bercerita dengan leluasa ke ibunya tentang masa-masa berat yang dilaluinya dulu.
Begitulah, di masyarakat Jepang, jika mempunyai teman banyak dianggap sebagai hal yang keren, dan jika tidak punya teman dianggap tidak keren. Ada semacam rasa takut di dalam jiwa orang Jepang jika dianggap tidak punya teman. Terutama terjadi di masa-masa sedang membutuhkan peer (teman sebaya) seperti di usia SMP dan SMA itu.
Saya ingat kembali ucapan teman saya itu. “Ka’ab bin Malik punya keimanan yang kuat, sehingga meskipun dia dicuekin semua muslim, dia tidak tergoda dengan bujukan untuk berkhianat kepada ummat Islam yang ditawarkan oleh Raja Ghassan.”
Berkelabat lagi dalam pikiran saya kisah-kisah para anak muslim yang berjuang mempertahankan identitas keIslamannya di sekolah Jepang. Mengerjakan sholat, berpuasa di bulan Romadhon, bahkan memakai jilbab, adalah hal yang berbeda dengan kebiasaan anak-anak di Jepang. Menjadi beda adalah salah satu faktor yang membuat anak sulit mendapatkan teman. Budaya Jepang yang menyukai homogenitas (keseragaman) adalah hal yang masih mengakar hingga saat ini. Satu-satunya jawaban buat anak-anak muslim untuk tetap survive adalah keimanan, seperti keimanan yang dimiliki oleh Ka’ab bin Malik.
Kontributor: Bunda 3F