Menghafal Al-Quran di Tengah Kesibukan

Published by forkitajp on

Rangkuman Materi 4 Pelita Tsukuba 1440 bertemakan “Menjadi Generasi Terdepan Bersama Al-Quran” yang disampaikan oleh Ustadz Hartanto Saryono, Lc. Program ini diadakan pada 30-31 Desember 2018 di Masjid Tsukuba.

Dari Mu’adz Al-Juhani, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa membaca (menghafal) Al-Quran dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, niscaya pada hari kiamat keduaorangtuanya akan dikenakan mahkota yang sinarnya lebih baik dari sinar matahari di rumah-rumah dunia sekiranya ia ada pada kalian. Maka bagaimana menurutmu dengan orang yang mengamalkan ini?”

post-image-1
Ustadz Hartanto Saryono, Lc.
  • Kunci pertama untuk menghafal Quran adalah kemauan (tekad). Sebagaimana tertera dalam Quran Surah Muhammad (47) ayat 21, tekad yang kuat dan jujur (ikhlas) karena Allah SWT maka pasti hasil akhirnya baik.
  • Menghafal Al-Quran pada hakikatnya bukan hanya sekedar dengan kecerdasan otak, tapi juga dengan kecerdasan hati. Bahkan, tidak hanya hafal secara lisan, tapi juga diperdalam dengan pemahaman makna dari tafsir dan implementasi dalam amalan sehari-hari.
  • Menghafal Al-Quran tidak memandang usia. Insya Allah akan dimudahkan Allah jika kita jujur ingin hafal, baik cepat atau lambat.
  • Hanya orang yang sibuk yang bisa menghafal Al-Quran. Karena orang yang sibuk biasanya lebih menghargai waktu, sehingga memiliki tekad yang lebih kuat dalam menghafal.

Beberapa hadits tentang keutamaan menghafal dan membaca Al-Quran

  • Dari ‘Aisyah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang mahir terhadap Al-Quran bersama para malaikat yang mulia lagi taat. Dan orang yang membaca Al-Quran sedang ia terbata-bata dalam membacanya dan merasakan kesulitan maka baginya dua pahala.’” (HR. Muslim)
  • Hadits di atas menunjukkan bahwa manusia bisa sederajat dengan malaikat, meski bisa juga sederajat dengan syaithan dan iblis.

  • Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari golongan manusia.’ Ada yang bertanya, ‘Siapakah mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu ahli Al-Quran, mereka adalah keluarga Allah dan pilihan-Nya.’” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Ad-Darimi)
  • Hadits di atas berkaitan dengan menghafal Al-Quran dan bersungguh-sungguh untuk selalu bersama Al-Quran. Bahkan dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak lah sekelompok orang berkumpul di rumah di antara rumah-rumah Allah (di masjid), mereka membaca Al-Quran dan saling mengkaji Al-Quran, kecuali ajan turun empat kemuliaan; (1) turun sakinah (ketenangan) pada mereka, (2) diliputi oleh rahmat Allah (kita masuk surga karena rahmat Allah, bukan karena amal kita), (3) dinaungi oleh para malaikat, dan (4) disebutlah nama-nama mereka satu per satu oleh Allah SWT di hadapan makhluk yang mulia di sisi Allah SWT.

    Suatu ketika Umar RA masuk ke Masjid Nabawi dan menjumpai Mu’adz bin Jabal RA menangis di dekat makam Rasulullah SAW. Umar RA bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Mu’adz RA menjawab, “Tidak ada. Tapi aku pernah mendengar Rasulullah SAW mengatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT mencintai orang-orang yang bertaqwa tapi ia tidak begitu terkenal dan orang sipil biasa (amal-amalnya tidak tampak). Jika ia tidak hadir maka ia tidak dicari-cari, dan jika ia hadir maka ia tidak dikenal. Hati mereka adalah lentera (petunjuk), mereka selamat dari fitnah yang sangat gelap gulita.

    Ketika kita menghafal Al-Quran, perlu ditanamkan pada diri bahwa kita sedang menghafal firman Allah SWT dan Allah SWT yang menjamin menjaganya.

  • Dari Abdullah bin ‘Amr RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Dikatakan kepada penghafal Al-Quran, ‘Bacalah dan naiklah (ke tingkatan surga yang lebih tinggi). Dan bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca.’” (HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi)
  • Di dalam teks hadits, disebut sebagai pembaca maupun penghafal Al-Quran, melainkan sahabat Al-Quran. Sahabat Al-Quran itu selalu berusaha dekat, mengerti, empati, memahami dan memperdalam Al-Quran dan kandungannya.

    ‘Aisyah RA mengomentari bahwa surga itu ada tingkatan-tingkatannya dan setiap tingkatannya naik karena membaca ayat (menyetor hafalan Al-Quran). Ketika kita menghafal Al-Quran, bukan hanya untuk di dunia, tapi sesungguhnya kita sedang menyiapkan diri untuk dapat memperdengarkan kembali di hadapan Allah SWT.

    Hamzah Az-Zayyat (Imam Qiraat keenam dari qiraat yang tujuh), sebagaimana termaktub di Kitab Shifatush Shafwah, menyampaikan kisah beliau. Suatu hari beliau bermimpi telah terjadi kiamat dan kemudian dipanggillah ahli Al-Quran untuk masuk ke suatu ruangan. Sebelum beliau memasuki ruangan, ada pengumuman “Tidak boleh masuk selain ahli Al-Quran.” Beliau balik arah karena merasa tidak menjadi ahli Al-Quran, tapi terdapat panggilan agar beliau masuk ke ruangan. Di ruangan tersebut, beliau diuji dan diminta untuk memperdengarkan ayat-ayat Al-Quran yang beliau hafal. Setelah mencapai Surah Al-An’am ayat 60, bacaannya dihentikan dan beliau ditanya, “Bukan kah Aku yang paling berkuasa atas hamba-hamba-Ku?” Hamzah baru tersadar bahwa yang berbicara padanya adalah Allah SWT. Kemudian ia melanjutkan bacaannya hingga akhir Surah Al-A’raf. Ketika ingin melakukan sujud tilawah, dikatakan, “Cukuplah apa yang telah Engkau lakukan dahulu di dunia.” Kemudian ia ditunjukkan akan keindahan surga dan ia diminta masuk ke dalamnya. Pada akhirnya ia ditanya, “Siapa yang mengajari Engkau, wahai Hamzah?” Kemudian disebutlah nama gurunya. Lalu ditanya lagi, “Siapa yang mengajari gurumu?” Kemudian disebutlah tabi’in. Lalu ditanya lagi, “Siapa yang mengajari gurunya gurumu?” Dikatakan “Putra paman nabi-Mu” (yakni Ali bin Abi Thalib RA). Lalu ditanya lagi, “Siapa yang mengajari putra paman nabi-Ku?” Dijawab, “Nabi-Mu.” Lalu ditanya lagi, “Siapa yang mengajari nabi-Ku?” Dijawab, “Jibril AS.” Lalu ditanya lagi, “Siapa yang mengajari Jibril?” Hamzah diam karena merasa layak untuk menjawab. Lalu ditanya lagi untuk kedua kalinya, “Siapa yang mengajari Jibril?” Hamzah masih diam. Hingga pertanyaan ketiga dan Hamzah tetap diam. Lalu dikatakan, “Ya Hamzah, katakan lah ‘Engkau ya Allah.’

    Banyak lagi kisah-kisah orang shalih terkait Al-Quran, seperti kisah Imam Nafi’ (imam yang pertama dalam bacaan Al-Quran; muncul wangi dari mulutnya ketika membaca Al-Quran) dan kisah Syu’bah (Abu Bakar bin ‘Ayyaz, seorang perawi; salah satu dari dua murid terkenal Imam ‘Ashim; muridnya yang terkenal satu lagi adalah Hafsh yang bacaannya biasa kita pakai). Menjelang wafatnya, Syu’bah dikunjungi oleh saudara perempuannya. Saudara perempuannya ini menangis, dan Syu’bah berkata, “Apa yang membuatmu menangis? Lihat lah ke sudut kamar itu. Sesungguhnya aku telah mengkhatamkan Al-Quran di sudut kamar ini sebanyak 18 ribu kali.

  • Dari Mu’adz Al-Juhani, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca (menghafal) Al-Quran dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, niscaya pada hari kiamat keduaorangtuanya akan dikenakan mahkota yang sinarnya lebih baik dari sinar matahari di rumah-rumah dunia sekiranya ia ada pada kalian. Maka bagaimana menurutmu dengan orang yang mengamalkan ini?
  • Hafal Al-Quran merupakan hadiah paling istimewa bagi orang tua kita di akhirat kelak.

  • Dari Abu Umamah RA, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bacalah Al-Quran, karena sesungguhnya pada hari kiamat ia datang menjadi pemberi syafaat pembacanya.’” (HR. Muslim)
  • Syafaat berarti memberikan bantuan, pembelaan dan pertolongan.

  • Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang di hatinya tidak ada sesuatu pun ( hafalan ) dari Al-Quran seperti rumah yang rusak (tak berpenghuni).’” (HR. At-Tirmidzi)

Menghafal Al-Quran

  • Dalam menghafal Al-Quran, hendaklah meliputi hafal secara lisan, memahami maknanya, dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
  • Hafal secara lafazh bermaksud hafal kalimat-kalimatnya (redaksinya), tidak ada yang tertinggal.
  • Hafal makna (kandungannya). Dalam proses menghafal, hendaknya juga memahami kandungannya agar kita dapat mengambil pelajaran penting dari ayat-ayat yang kita hafal. Tidak ada keharusan untuk paham Bahasa Arab dulu sebelum menghafal. Pun tidak harus menghafal makna secara harfiah, melainkan bisa per tema yang dikandung.
  • Ayat-ayat yang telah kita hafalkan hendaklah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari kita.

Langkah-langkah menghafal Al-Quran

  1. Ikhlas.
  2. Persiapan diri lahir dan batin. Perlu membersihkan hati untuk menghafal Al-Quran. Ungkapan seorang syaikh, “Jika Engkau penuhi hati dengan dunia, di relung hati yang manakah Engkau letakkan Al-Quran?” Untuk persiapan lahir, perlu mengatur waktu; ada porsi untuk menghafal, muraja’ah, maupun membaca. Untuk menghafal, cari waktu yang paling efektif. Untuk tilawah, sebaiknya untuk refreshing. Sementara waktu paling baik untuk mengulang (murajaah) hafalan adalah ketika shalat. Hafalan Al-Quran itu cepat hilang, oleh karena itu harus rajin diulang. Hakikat menghafal adalah ketika kita telah selesai menghafal, karena mempertahankan hafalan memiliki tantangan yang lebih besar.
  3. Berdoa. Kemampuan kita menghafal tidak lepas dari ridha Allah SWT.
  4. Luangkan waktu.
  5. Kuatkan ingatan. Dengan menghafal Al-Quran juga mengurangi kemungkinan pikun.
  6. Talaqqi kepada guru. Menghafal harus ada guru, setidaknya memiliki rekan.
  7. Cari lingkungan. Perlu bertemu dengan teman-teman yang dekat dengan Al-Quran. Jika tidak punya lingkungan, bentuk lingkungan di keluarga.
  8. Gunakan satu naskah mushaf, khususnya bagi yang potensi visualnya (melihat) lebih baik daripada auditori (mendengar). Penggunaan satu naskah mushaf akan lebih memudahkan kita dalam mengingat posisi ayat.
    Mushaf Madinah ditulis tangan oleh Syaikh ‘Utsman Thaha (lahir 1934), cetakan pertama tahun 1980an dan ditulis ulang di tahun 1990an. Dari tulisan tangan beliau, dibuat lah font. Terdapat sedikit perbedaan settingan pada tulisan tangan yang lama dengan yang baru.
  9. Simak bacaan. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk murajaah.
    Sebelum menghafal, hendaklah memperbaiki bacaan terlebih dahulu, terutama jika menghafal secara mandiri (tanpa guru). Atau dapat pula dengan menyetorkan bacaan terlebih dahulu kepada guru, baru kemudian dihafalkan. Ada metode hafalan dengan cara ditalqin (dibimbing), dimana guru mengajari murid cara membaca, baik dengan audio maupun visual mulut si guru.
  10. Baca tafsir dan tadabbur untuk mengetahui kandungan ayat-ayat yang sedang dibaca dan dihafal. Tafsir paling sederhana merupakan Tafsir Ibnu Katsir (atau ringkasannya) atau Tafsir Jalalain.
  11. Bagi menjadi tematik.
    Pembagian mushaf Al-Quran kepada 30 juz atas perintah Al-Hajjaj bin Yusuf, dimana per juz dibagi 2 hizb, dan per hizb dibagi 4. Pembagian juz dan hizb ini berdasarkan jumlah huruf, bukan berdasarkan tema atau alur cerita. Pembagian berdasarkan tema diterapkan pada mushaf yang menggunakan tanda ruku’ (tanda ‘ain). Menurut Imam An-Nawawi, ada 7 atau 8 juz yang tidak dianjurkan menjadi awal untuk memulai bacaan Al-Quran karena dimulai dengan ayat yang tidak sempurna tanpa ayat sebelumnya. Termasuk juga jika berhenti di akhir halaman, seperti pada akhir halaman 34 dan awal halaman 35.

    Contoh pembagian tema pada Surah An-Naba’:

    • Tema 1: ayat 1–5, merupakan muqaddimah (pengantar)
    • Tema 2: ayat 6–16, tentang fenomena alam sekitar kita
    • Tema 3: ayat 17–20, tentang kiamat
    • Tema 4: ayat 21–30, tentang neraka
    • Tema 5: ayat 31–39, tentang surga
    • Tema 6: ayat 40, merupakan penutup

Sesi Tanya Jawab

  • Pernah mendengar kisah Abu Hurairah RA yang kesulitan dalam menghafal hadits, dan kemudian didoakan oleh Rasulullah SAW hingga setelahnya hafalan menjadi kuat. Untuk zaman sekarang, bolehkah meminta doa dan bantuan dari guru atau orang shalih untuk menguatkan hafalan?
    Banyak hal yang dapat dilakukan guna memperkuat atau menjadi wasilah (sarana/perantara) terkabulnya doa kita, atau menjadi sarana yang memudahkan amal-amal kita. Di antaranya adalah meminta doa dari orang-orang shalih yang masih hidup, termasuk doa agar menguatkan hafalan, yang disebut sebagai tawassul. Akan tetapi, penting juga membersihkan diri dari hal-hal yang diharamkan dan mengambil hal-hal yang baik dan halal untuk menguatkan hafalan dan ilmu kita. Hal lain yang dapat dijadikan wasilah adalah amal shalih, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi.
  • Bagaimana menyikapi imam shalat atau orang yang bacaan Al-Qurannya tidak benar?
    Risiko di tempat umum adalah tidak mengetahui orang yang lebih fasih bacaannya. Akan lebih baik jika masjid/mushola di tempat umum disediakan imam tetap. Hendaklah tetap bermakmum atau berjamaah kepada imam meski bacaan imam kurang baik.
    Terhadap orang yang kurang benar bacaannya, hendaknya menasihatinya dengan hikmah dan cara yang terbaik, atau sekurang-kurangnya mengingkari dengan hati.
  • Bagaimana cara menghafal untuk tipe orang yang tipikalnya auditori? Bagaimana cara talaqqi melalui online (Youtube)?
    Selain mendengarkan Al-Quran, perlu belajar membedakan huruf-huruf dan juga kemampuan membaca. Kemudian perlu memperdengarkan bacaan kepada guru untuk mengecek sudah benar atau tidaknya bacaan.
    Referensi untuk bacaan bisa dari rekaman studio Syaikh Abdullah bin Ali Basfar, sementara untuk versi video bisa mengikuti Syaikh Aiman Rusydi Suwaid.
  • Bagaimana cara mengecek bacaan dan mempelajari Al-Quran jika jauh dari guru?
    Media-media online adalah sarana sekunder dalam belajar. Sarana primernya adalah tetap dengan guru (meskipun online), karena di hadapan guru kita bisa mengetahui kesalahan-kesalahan bacaan kita. Hingga saat ini belum ditemukan metode atau program yang mengecek ketepatan dan kefasihan dalam melafalkan huruf tanpa guru.

Rekaman Materi 4 Pelita Tsukuba 1440



Kontributor: Hifni