Mengukur Kualitas Bacaan Al-Quran Kita

Published by forkitajp on

Rangkuman Materi 3 Pelita Tsukuba 1440 bertemakan “Menjadi Generasi Terdepan Bersama Al-Quran” yang disampaikan oleh Ustadz Hartanto Saryono, Lc. Program ini diadakan pada 30-31 Desember 2018 di Masjid Tsukuba.

Wahai penghafal (pencinta Al-Quran), sesungguhnya Allah Ar-Rahman telah mengistimewakanmu dengan karunia, mahkota, ruh, dan bunga nan sedap aromanya.

Wahai orang yang selalu membaca Al-Quran dengan tartil, kabar gembira untukmu di hari kiamat; Engkau kan beruntung dengan meraih ampunan.

Wahai pembaca ayat-ayat Al-Quran, baik saat bersama banyak orang maupun dalam kesendirian, seluruh langit turut merekah menyertaimu dan jagad raya pun menghirup aroma sedapmu.

post-image-1
Ustadz Hartanto Saryono, Lc.
    • Allah karuniakan berkah kepada orang yang berinteraksi bersama Al-Quran; banyak kebaikan dan jauh dari keburukan.
    • Di masa Nabi SAW, tidak ada sahabat yang salah dalam berbahasa Arab. Meski demikian, para sahabat RA tetap belajar membaca Al-Quran dihadapan Rasulullah SAW karena Al-Quran memiliki kekhususan dalam aturan membacanya dibanding tulisan Arab sehari-hari.
    • Nabi SAW mengajari para sahabat boleh jadi berbeda antara satu dan yang lainnya. Salah satu contoh adalah kisah Hisyam bin Hakim RA dan Umar RA yang berbeda dalam membaca Surah Al-Furqan. Rasulullah SAW membenarkan bacaan Hisyam RA dan Umar RA meskipun beda pelafalan.
    • Pada masa Utsman bin Affan RA, orang mulai salah berbahasa Arab karena banyak orang non-Arab masuk Islam, sehingga mulai ada orang yang salah dalam membaca Al-Quran.
    • Pada masa Utsman, saat perluasan kekuasan Islam hingga ke Azerbaijan dan Armenia, Hudzaifah ibnu Al-Yaman RA menjumpai sebagian orang berselisih tentang suatu ayat, bahkan hampir saling bunuh, karena mereka tidak mempunyai naskah dan keterbatasan guru.
    • Al-Quran mulai ditulis pada masa Rasulullah SAW. Sejenak setelah Al-Quran turun kepada Nabi SAW, beliau SAW meminta para sahabat untuk menulis dan menghafal, untuk kemudian dicek oleh Nabi SAW. Di awal-awal turunnya wahyu, Nabi SAW berpesan, “Jangan kalian tulis apa yang datang dariku selain Al-Quran” karena khawatir tercampur antara Al-Quran dan hadits Nabi SAW. Al-Quran kemudian dibukukan di zaman Abu Bakr Ash-Shiddiq RA atas usulan Umar bin Khaththab RA. Setelah Abu Bakr RA wafat, mushaf tersebut dipegang oleh Umar RA. Setelah Umar RA wafat, mushaf tersebut dipegang oleh Hafshah binti Umar RA (istri Nabi SAW, putri Umar RA). Di masa Utsman RA tersebut, Al-Quran diduplikasi oleh Zaid bin Tsabit RA dan dikirim ke berbagai kota di Jazirah Arab.
    • Para sahabat sangat menjaga agar bacaan Al-Quran murni sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Hingga saat ini, budaya belajar membaca Al-Quran kepada guru langsung, guru mengoreksi — murid menyetorkan bacaan, masih terus berjalan, dari Surah Al-Fatihah hingga akhir Surah An-Nas.
    • Abdullah ibnu Mas’ud RA memperbaiki bacaan seorang laki-laki yang walaupun secara tata Bahasa Arab tidak memilik kesalahan makna namun tidak sesuai kaidah yang diajarkan Nabi SAW, dimana yang semestinya lebih dari 2 harakat menjadi hanya 2 harakat.
    • Al-Quran sampai kepada kita melalui 2 cara; lisan dan tulisan. Secara lisan, seorang murid belajar kepada guru, sang guru mengajarkan bagaimana cara mengucapkan dan melafalkannya agar sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW. Secara tulisan, dari masa ke masa, Al-Quran terus disempurnakan dalam hal tulisan untuk menjaga agar kita tidak salah membaca.
    • Mushaf Al-Quran yang kita pakai saat ini dinisbatkan kepada Utsman RA karena beliau RA yang mencetak beberapa mushaf. Terdapat perbedaan pendapat terkait jumlah naskah yang dicetak, ada yang 6 dan ada yang 8; (1) 1 naskah dipegang oleh Utsman RA, (2) 1 naskah untuk penduduk Madinah, (3) 1 naskah dikirim ke Makkah (beserta gurunya), (4) 1 naskah dikirim ke Kuffah (beserta gurunya), (5) 1 naskah dikirim ke Basrah (beserta gurunya), (6) 1 naskah dikirim ke Syam (beserta gurunya), (7) dan (8) dikirim ke Yaman dan Al-Bahrain. Kedelapan naskah mushaf ini disebut sebagai “Al-Mashahif Al-Utsmaniyyah” (Mushaf-mushaf Utsmani). Kedelapan mushaf ini juga disebut sebagai “Al-Mushaf Al-Imam“, mushaf yang menjadi imam (rujukan). Sementara “Mushaf Al-Imam” bermaksud mushaf yang dipegang oleh Utsman RA saja.
    • Salah satu cara mengetahui sebuah mushaf adalah mushaf utsmani adalah terdapat tulisan “bi al-rasm al-utsmaniy” pada sampulnya.
    • post-image-1 
      Titik i’rab (sumber: www.halaqahquran.com)

      Orang Arab pertama kali mengenal tanda baca dalam Al-Quran atau bahasa sehari-hari, berupa titik harakat berwarna merah, pada masa Ali bin Abi Thalib RA (oleh Abu Al-Aswad Ad-Du’ali). Ada titik yang berfungsi sebagai fathah (berupa satu titik di atas huruf), kasrah (berupa satu titik di bawah huruf), dhammah (berupa satu titik di hadapan huruf) dan tanwin (berupa dua titik). Pada masa tersebut, belum ada titik pembeda huruf. Tanda titik pun hanya diberikan pada akhir kata atau yang diperlukan saja sehingga disebut titik i’rab (sintaksis).

    • Utsmani atau bukan Utsmani-nya sebuah mushaf adalah berhubungan dengan kerangka huruf dalam suatu kata. Rasm Utsmani sendiri adalah suatu ilmu yang membahas tentang kekhususan penulisan Al-Quran dibandingkan dengan Bahasa Arab sehari-hari. Terdapat 6 kaidah yang berkaitan Rasm Utsmani.
    • Terdapat 2 klasifikasi Huruf Hijaiyyah; (1) Huruf Hijaiyyah, secara pelafalan, ada 29 huruf, (2) Huruf Abjadiyyah, secara tulisan, ada 28 huruf (pada saat Al-Quran turun). Huruf yang tidak ada penulisannya saat itu adalah huruf Hamzah Qatha’ (disimbolkan dengan kepala ‘ain), yang ditemukan oleh Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Sebelum ada hamzah, orang Arab menggunakan huruf “alif”, “waw”, atau “ya” untuk menyimbolkan hamzah. Sementara alif yang berfungsi sebagai tanda panjang disebut sebagai lam-alif.
    • Dahulu, titik pembeda huruf sempat berupa garis.
    • Secara lisan, bacaan Quran harus bertajwid. Meskipun tidak ada ilmu tajwid di masa Rasulullah SAW, tapi Rasulullah SAW mempraktekkannya dan berdasarkan prakteknya ini diturunkan kaidahnya (dasar-dasar ilmunya) oleh generasi berikutnya.
    • Ilmu membaca Quran ada dua; ilmu ad-dirayah dan ilmu ar-riwayah. Ilmu ad-dirayah berkaitan dengan pengetahuan, wawasan, hukum-hukum, dan istilah-istilah. Ilmu ar-riwayah berkaitan praktek bagaimana guru mengajari kita. Jika ada pertentangan di antara keduanya, maka ilmu ar-riwayah lah yang di kedepankan. Nabi SAW berpesan, “Bacalah sesuai dengan yang kamu diajari.
    • Membaca Quran harus dengan tartil sebagaimana firman Allah SWT di Surah Al-Muzammil (73) ayat 4:

      وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

      Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.
      Makna tartil menurut Ali bin Abi Thalib RA:

      التَّرْتِيلُ هُوَ تَجْوِيدُ الْحُرُوفِ وَمَعْرِفَةُ الْوُقُوفِ

      Tartil adalah memperbaiki huruf dan mengetahui seluk beluk tentang waqaf.
      Untuk mengetahui tempat untuk berhenti dan memulai lagi bacaan, perlu mengetahui Bahasa Arab (minimal), ilmu tafsir, dan ilmu qiraat (karena terdapat perbedaan akhir ayat pada qiraat yang berbeda).

    • Terdapat dua masalah dalam mempelajari Al-Quran; (1) karena berpindah-pindah guru/pesantren/lembaga, dan (2) karena merasa cukup (bagus dan lancar) sehingga tidak mau belajar lagi.
    • Kesalahan mendasar dalam membaca Quran yang berakibat fatal karena dapat merubah arti atau malah meniadakan makna:
      1. Perubahan huruf. Contoh, antara عَلِيمٌ (maha mengetahui) dan أَلِيمٌ (pedih).
      2. Perubahan harakat.
      3. Perubahan panjang-pendek. Contoh, antara جَمَل (unta) dan جَمَال (keindahan).
      4. Perubahan huruf mati.
      5. Perubahan huruf ganda. Contoh, antara الْحَمَامُ (burung) dan الْحَمَّامُ (kamar mandi).

    Rekaman Materi 3 Pelita Tsukuba 1440

     

     


    Kontributor: Hifni