Hukum Pakaian Nonmuslim

Published by forkitajp on

Tak ada perbedaan di kalangan ulama tentang kesucian dan bolehnya memakai pakaian yang diproduksi nonmuslim karena pakaian Rasulullah dan pakaian para sahabat adalah buatan nonmuslim. Begitu pula dengan hukum pakaian milik nonmuslim yang masih baru dan belum dipakai. Adapun yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pakain milik nonmuslim yang sudah dipakai; apakah hukumnya najis atau suci?

Pakaian bekas nonmuslim mengikut kondisi berikut:

  1. Apabila dicuci setelah pemakaiannya, maka kesuciannya tidak diragukan.
  2. Apabila sudah digunakan tapi belum dicuci, maka:
    • Apabila tidak bersentuhan lansung dengan aurat, seperti kemeja, maka dibolehkan karena hukum aslinya adalah suci; tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Selain itu, menurut jumhur ulama, hukum tubuh orang kafir adalah suci.
    • Apabila pakaian tersebut bersentuhan langsung dengan bagian aurat, maka sebaiknya dicuci dulu sebelum digunakan. Hal tersebut dikarenakan pakaian tersebut mendekati bahkan bersentuhan dengan tempat keluarnya najis, sedangkan kebanyakan orang-orang kafir tidak bersuci setelah buang air kecil, dan tidak terlalu memperhatikan bagaimana bersuci yang benar setelah buang air besar. Hal tersebut adalah kondisi umum, jadi di sini kita mengedepankan kondisi umum daripada hukum asal (kesucian badan nonmuslim). Ini adalah pendapat Mazhab Maliki dan pendapat Alqaadhy Abu Ya’la dari Mazhab Hambali. Dasar dari pemilihan hukum tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari dari Abu Tsa’labah Al Khusyani RA tentang wadah makanan orang kafir. Abu Tsa’labah berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami berada di tanah kaum Ahli Kitab. Mereka masak babi di periuk mereka dan minum khamar di wadah mereka. Apakah kami boleh makan menggunakan wadah-wadah mereka?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kalau ada wadah lain maka janganlah kalian makan menggunakan wada mereka. Apabila tidak menemukan yang lainnya, maka cucilah dan makanlah dengan wadah tersebut.’” (HR Abu Dawud 3839 dan Muttafaqun Alaih).

      Dari hadits tersebut, dapat dipahami bahwa ketika umumnya wadah mereka bersentuhan dengan najis, maka wadah tersebut dihukumi najis ketimbang menghukumnya dengan hukum asal (suci), sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mencucinya.

Mencampur pakaian dengan pakaian orang kafir saat mencuci

Banyak para perantau yang terpaksa mencampurkan pakaiannya dengan pakaian orang kafir saat dicuci, misalnya saat seorang perantau dicucikan pakaiannya oleh sebuah keluarga bersama dengan pakaian mahasiswa lainnya. Untuk hal tersebut, maka hukumnya dibolehkan, karena meskipun pakaian tersebut bersentuhan dengan bagian aurat, meskipun pada tulisan di atas disebutkan bahwa yang dikedepankan adalah keumuman kenajisannya, tetapi dengan mencucinya berarti telah mensucikannya dari najis.

Kesimpulan

  1. Pakaian yang dibuat oleh orang kafir, atau pakaian baru, hukumnya suci.
  2. Pakaian orang kafir yang dicuci setelah digunakan hukumnya adalah suci.
  3. Pakaian orang kafir yang telah digunakan sebelum dicuci, apabila tidak bersentuhan dengan bagian aurat, maka dibolehkan penggunaannya menurut pendapat yang rajih, karena hukum asalnya adalah suci.
  4. Pakaian orang kafir yang telah digunakan dan menyentuh bagian aurat atau area sekitarnya seperti pakaian dalam, maka tidak selayaknya digunakan dan dipakai saat shalat sebelum dicuci. Hal tersebut dikarenakan umumnya orang kafir tidak bersuci dari najis sebagaimana Muslim melakukannya.
  5. Dibolehkan mencampur pakaian dengan pakaian orang kafir dalam satu wadah saat mencuci, walaupun yang lebih utama adalah memisahkannya.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fiqih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (1) Ibadah, Pasal (1) Thaharah, diterjemahkan oleh Farhan, dan disunting oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.