Gelatin
Apa itu gelatin?
Senyawa turunan protein yang diperoleh dengan cara mengestrak kolagen hewan (kulit dan tulang) dan mengeringkannya.
Karakteristik kimia gelatin
Jika gelatin sudah kering maka ia tak akan bisa kembali menjadi kolagen, sifat dan dan karakteristiknya berbeda dengan kolagen. Gelatin masuk kelompok globural protein yang menyerupai protein darah (hemoglobin), insulin, gammaglobulin, dan protein telur; karena itu ia bisa larut dalam air. Adapun kolagen adalah termasuk kelompok protein struktural, seperti keratin, yang tak bisa larut dalam air.
Hukum gelatin
Jika diambil dari rumput laut atau binatang yang boleh dimakan dan disembelih sesuai syariat maka ia jelas halal.
Adapun jika sumbernya adalah binatang yang diharamkan atau binatang yang boleh dimakan tapi tak disembelih sesuai syariat, maka di sini terdapat dua permasalahan yang diperdebatkan.
- Apakah terjadi perubahan zat secara kimiawi dan sudah berubah menjadi zat baru (istihalah)?
- Apakah istihalah pada satu zat bisa merubah hukum yang asalnya haram menjadi halal, seperti perubahan khamar menjadi cuka, babi menjadi garam, kolagen menjadi gelatin, dll?
Apakah perubahan kimiawi sebuah zat merubah sebuah hukum?
Ulama berbeda pendapat:
- Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama yang terdiri dari mayoritas Hanafiah dan Malikiah, sebagian kecil pengikut Hambali, merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimaiyah, dan pendapat Azzahiriyah, bahwa istihalah merubah hukum satu zat najis menjadi suci, dan haram menjadi halal, baik zat itu najis secara materi maupun maknawi.
- Syafi’iyah sepakat dengan pendapat pertama dalam hal hukum kulit binatang bangkai.
- Istihalah tak merubah hukum, seperti pendapat sebagian Malikiyah, pendapat utama mazhab Hambali, dan merupakan pendapat mazhab Syafi’iy jika zat asalnya adalah zat najis secara materi.
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama dengan alasan:
- Syariat telah mengatur sifat najis dari suatu najis, dan hukum itu akan hilang jika sebagian dari karakteristiknya hilang, apalagi semuanya. Garam (pada kasus istihalah dari tulang dan daging) bukan tulang dan daging, maka hukumnya berubah menjadi hukum garam. Alaqah (segumpal darah dari proses embrio binatang) adalah najis, setelah jadi binatang ia menjadi suci. Jus suci berubah jadi khamar dan najis, lalu berubah menjadi cuka dan jadi suci. Jadi istihalah suatu zat diikuti hilangnya hukum zat tersebut.
- Jika khamar yang merupakan induk keburukan, jika dengan sendirinya berubah menjadi cuka hukumnya jadi halal menurut kesepakatan ulama, maka benda najis lain jika istihalah lebih utama untuk menjadi suci.
Ibnu Hazm berkata, “Jika kalian mengingkari hal ini dan mengatakan bahwa walau sifat dan karakteristiknya berubah maka benda itu tetap sama hukumnya, maka kalian juga harus mengatakan boleh berwudhu dengan air kencing karena asalnya adalah air, begitu juga dengan keringat. Kalian juga harus mengatakan haram makan buah dari pohon yang diberi pupuk kotoran, haram makan ayam karena asalnya najis.” (Almuhalla 1/162)
Jika istihalah terjadi dengan proses eksternal, hukumnya bagaimana?
Mayoritas ulama yang berpendapat perubahan hukum dengan proses istihalah tidak membedakan antara proses internal dan eksternal, seperti pendapat Malikiyah, Hanafiyah, dan Ibnu Hazm.
Adapun perintah Rasulullah SAW untuk menumpahkan khamar dan memecahkan kendi-kendinya dimaksudkan untuk memberikan penegasan dan rasa kebencian dalam hati kaum muslimin, padahal kendi-kendi tersebut bisa saja dipergunakan lagi setelah dibersihkan.
Jadi pendapat yang lebih kuat, selama dalam istihalah gelatin terjadi perubahan kimiawi , maka tak ada larangan untuk memakainya walaupun kolagennya dari sumber nonhalal. Tentunya lebih baik memakai gelatin yang diekstrak dari sumber halal, seperti gelatin nabati atau gelatin dari hewan halal yang disembelih sesuai syariat.
Catatan
Beberapa kode dan nama yang tercantum dalam komposisi sebuah produk kadang menimbulkan dilema pada sebagian orang, apakah ia halal atau haram?
Zat dengan kode (E) yang diikuti angka setelahnya merupakan zat tambahan berupa pengawet, pewarna, pemanis, dll.
Zat-zat tersebut sesuai sumbernya terbagi ke dalam empat kelompok:
- Kimiawi buatan
- Nabati
- Hewani
- Senyawa terurai dalam satu zat (alkohol)
Hukumnya, zat tambahan tersebut tidak berpengaruh terhadap kehalalan makanan atau minuman, karena:
- Kelompok pertama dan kedua dari asalnya sudah halal.
- Kelompok ketiga, zatnya sudah berubah secara kimiawi (istihalah), jadi tak lagi mengandung karakteristik dan sifat zat hewani.
- Kelompok keempat biasanya untuk zat pewarna, digunakan dalam kadar yang sangat sedikit dan sudah terurai tak berbekas.
Jadi makanan maupun minuman yang di komposisinya tertera kode-kode di atas kembali ke hukum asal kebolehan makanan, tidak apa-apa dikonsumsi seorang muslim.
Agama Islam adalah agama yang mudah, melarang untuk memberatkan diri sendiri; mencari dan menggali celah-celah keharaman tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (Dewan Fatwa dan Riset Eropa, fatwa no 34)