Wadah (Makan/Minum) Nonmuslim

Published by forkitajp on

Wadah makan dan minum

Ilustrasi: Wadah makan dan minum.

Banyak dari kalangan muslim yang menghadapi dilema mengenai hukum memakai wadah nonmuslim, baik di rumah maupun di restoran.

Ada dua kondisi daripada wadah nonmuslim; wadah baru dan wadah yang sudah dipakai. Jika ia masih baru maka tak ada masalah. Yang akan dibicarakan pada topik ini adalah wadah yang sudah dipakai, yang mana kondisinya tak terlepas dari tiga hal:

Pertama: Jika dia yakin bahwa wadah itu terkena najis, misalnya karena dia melihat sendiri dipakai memasak babi, atau dipakai minum khamar. Pada kondisi ini, dia tak boleh memakai wadah yang bernajis itu sebelum dicuci.

Kedua: Jika dia yakin bahwa wadah itu sudah dicuci dan bersih setelah dipakai sebagai wadah makanan bernajis, maka dia boleh menggunakannya.

Ketiga: Dia tidak tahu kondisi sebenarnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai wadah yang tidak diketahui kondisinya, baik di rumah maupun di restoran, kepada beberapa pendapat:

  1. Boleh dipakai. Pendapat ini menurut mazhab Hambali, dan merupakan salah satu pendapat mazhab Syafi’i. Dalilnya adalah:
    • Firman Allah, Al-Maidah: 5

      وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

      Dan makanan (sembelihan) Ahli Kitab halal bagimu).
      Termasuk memakai wadah yang menjadi keharusan sebuah makanan.

    • Dari Abdullah bin Mughaffal, dia berkata, “Pada saat pengepungan Benteng Khaibar, saya mendapatkan satu wadah kulit berisi lemak yang dilempar dari atas (benteng) dan saya berkata, ‘Saya tidak akan memberikannya kepada siapapun, lalu aku menoleh dan ternyata Rasulullah yang lagi tersenyum.’” (HR. Muslim 1772).
    • Diriwayatkan dengan sanad yang baik bahwa Nabi SAW dijamu oleh seorang Yahudi dengan roti dan minyak yang sudah berubah (warna dan aromanya). (HR. Ahmad 13201)
    • Jabir meriwayatkan, “Kami berperang bersama Rasulullah, lalu kami mendapatkan wadah makan dan dan tempat minum orang musyrikin dan mempergunakannya, dan Rasulullah tidak mencela tindakan kami.” (HR. Abu Dawud 2/391)
  2. Makruh dipakai menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’i, dan merupakan salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal.
  3. Tidak boleh dipakai sebelum dicuci, menurut Mazhab Maliki dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
  4. Pengusung pendapat kedua dan ketiga mendasarkan pendapatnya kepada riwayat Abu Tsa’labah Alkhusyany, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah, ‘Kami di negeri Ahli Kitab, apakah kami boleh makan di wadah mereka?’ Rasulullah berkata, ‘Jika ada wadah lain, jangan kamu pakai (wadah mereka); jika tidak ada, cuci dulu baru pakai.’” (HR. Bukhary 5161, Muslim 1930).

    Alasannya, karena mereka biasa memakai wadah mereka untuk zat bernajis.

    Yang berpendapat makruh karena makruh adalah derajat larangan terendah, yang berpendapat haram karena larangan pada dasarnya menunjukkan keharaman.

Pendapat yang rajih

Wadah nonmuslim hukumnya suci selama tidak ada bukti najis secara meyakinkan berdasar dalil-dalil yang sudah disebutkan. Tetapi sebaiknya jangan memakai sendok atau piring yang terdapat padanya sisa makanan mereka, karena makanan mereka secara umum mengandung najis.

Adapun riwayat Abu Tsa’labah Alkhusyany, yang dimaksud adalah orang yang sering memakai wadahnya untuk makanan najis seperti memasak babi dan minum khamar sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, “Dan mereka memakai panci mereka untuk memasak babi dan memakai tempat minum mereka untuk minum khamar, apakah kami boleh memakai wadah mereka?” Rasulullah menjawab, “Tidak, kecuali tidak ada wadah yang lain maka pakailah setelah dicuci terlebih dahulu.” (HR. Abu Dawud 3839).

Pendapat yang mengatakan bahwa wadah nonmuslim adalah suci akan lebih kuat jika adat dan kebiasaan mereka adalah mencuci wadah setelah dipakai, sebagaimana kebiasaan orang sekarang.

Memakai microwave setelah dipakai menghangatkan makanan mengandung babi

Apa hukum menghangatkan makanan di microwave setelah dipakai menghangatkan makanan yang mengandung babi?

Ketika menghangatkan makanan di microwave, uap dari makanan tersebut akan berterbangan memenuhi microwave, dan jika setelahnya langsung dipakai menghangatkan makanan lain maka kemungkinan besar uap itu akan bercampur dengan makanan tersebut. Lalu bagaimana hukum uap dari makanan yang mengandung najis?

Pendapat yang kuat adalah microwave tersebut boleh digunakan, karena uap dari benda najis hukumnya suci menurut pendapat yang lebih kuat, seperti pendapat Mazhab Hanafi, pendapat yang dipegang Mazhab Maliki, dan salah satu pendapat di Mazhab Hambali, serta dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Adapun yang mengatakan bahwa uap dari benda najis adalah najis, mengatakan uap yang jumlahnya sedikit bisa ditolerir, supaya tidak menyusahkan.

Catatan tambahan: wadah emas dan perak

Di hotel dan restoran mewah, tak jarang ditemui wadah yang disepuh emas atau perak, sementara Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya orang yang makan dan minum dengan wadah emas dan perak, maka sesungguhnya dia memasukkan api neraka jahannam ke dalam perutnya.” (HR. Muslim 2056)

Hukum ini meliputi seluruh perkakas makan seperti sendok garpu, pisau, dll, baik yang terbuat dari emas dan perak maupun sepuhan emas dan perak.

Wadah orang kafir

Ingat!

  1. Wadah orang kafir hukumnya suci jika tidak diketahui secara meyakinkan terkena najis.
  2. Sebaiknya tidak menggunakan wadah/perkakas makan orang kafir yang padanya terdapat sisa makanan mereka.
  3. Boleh menggunakan microwave walaupun sebelumnya dipakai menghangatkan makanan haram.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fikih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (1) Ibadah, Pasal (1) Thaharah, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.