Bermakmum kepada Pelaku Bid’ah

Published by forkitajp on

Imam shalat yang tertuduh pelaku bid’ah beragam kondisinya:

  1. Tak dikenal berpendapat bid’ah tapi tak diketahui memegang erat sunnah.Ulama sepakat membolehkan bermakmum kepadanya. Banyak orang salah dalam masalah ini karena tak mau shalat bersama seorang imam shalat sebelum mengetahui aqidahnya, atau mengatakan bahwa imam yang berasal dari negeri tertentu pasti ahli bid’ah. Hal ini menyalahi ajaran generasi salaf dan ulamanya.Ibnu Taimiyah berkata, “Ajaran dasar ahlussunnah waljamaah adalah bahwa mereka Shalat Jumat, Shalat Ied dan shalat berjamaah, dan mereka tidak meninggalkannya seperti yang dilakukan para ahli bid’ah, golongan syiah rafidhah dan yang lainnya. Jika imam tak diketahui secara pasti kondisinya dan tak nampak ia berbuat bid’ah dan dosa besar maka boleh Shalat Jumat dan shalat jamaah di belakangnya sebagaimana pendapat yang disepakati imam empat dan yang lainnya. Tak seorang pun dari mereka berpendapat hanya boleh shalat bersama imam yang diketahui kondisinya lahir bathin, tapi sebaliknya, kaum muslimin selalu mau shalat bersama imam yang tak diketahui kondisinya sepeninggal Nabi SAW.
  2. Imam shalat pelaku bidah yang dikenal melakukan bid’ah yang tak sampai mengeluarkan dari Islam, tapi tak ada imam yang lain karena dia yang ditunjuk menjadi imam untuk Shalat Jumat dan Ied.Boleh shalat bersamanya menurut kesepakatan ulama ahlussunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi assalaf asshalih.Imam Bukhary menulis dalam shahihnya, “Bab Orang Tersesat dan Pelaku Bidah,” di sana ia mengomentari perkataan Al Hasan, “Kamu silahkan shalat bersamanya, adapun amalan bid’ahnya menjadi tanggungannya sendiri,” dan menyebutkan atsar yang diriwayatkan Ubaidullah bin Ady bin Khiyar, “Bahwa ia menjumpai Utsman bin Affan ketika dikepung (oleh kelompok Khawarij) dan berkata kepadanya, ‘Engkau adalah pemimpin umum, tapi engkau dalam kondisi seperti ini, sementara kami shalat di belakang imam fitnah (sesat, jauh dari ajaran agama yang benar), apakah boleh tak ikut shalat bersamanya?’ Utsman RA menjawab, ‘Shalat adalah amalan terbaik yang dilakukan manusia, jika mereka berbuat baik maka berbuat baiklah bersama mereka, dan jika mereka berbuat buruk maka jauhi keburukan mereka.’“(Bukhary 663)

    Berkata Ibnu Hajar, “Maksud perkataan Utsman RA ‘Jika manusia berbuat baik maka berbuat baiklah bersama mereka’ secara eksplisit adalah beliau memberi keringanan untuk shalat bersama mereka, seakan ia berkata, ‘Kesesatannya tak berdampak kepadamu, jika ia berbuat baik ikuti kebaikannya, dan tinggalkan kesesatannya,’ makna tersebut sesuai dengan bab yang tertulis.” (Fathul Baary 2/222)

    Berkata Ibnu Taimiyah, “Jika tak bisa shalat kecuali bersama ahli bidah atau pelaku maksiat, seperti Shalat Jumat yang ia adalah imamnya, sementara tak ada Shalat Jumat lain yang bisa diikuti, maka boleh shalat bersamanya menurut pendapat jumhur, termasuk Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal.” (Al Fataawa 3/280)

  3. Shalat bersama pelaku bid’ah yang tak menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam padahal bisa shalat bersama yang lain pengikut sunnah. Shalatnya sah, tapi lebih utama shalat bersama pengikut sunnah.Ibnu Taimiyah berkata, “Jika nampak dari imam amalan bid’ah dan maksiat padahal bisa shalat bersama yang lain pemegang sunnah, maka shalat bersama yang pertama sah menurut jumhur ulama termasuk Syafi’i dan Abu Hanifah, dan merupakan salah satu pendapat dari Imam Malik dan Ahmad.” (Al Fataawa: 3/280)
  4. Shalat bermakmum kepada pengikut bid’ah yang berakibat kekafiran seperti pengikut ekstrim rafidhah dah jahamiyah. Ulama sepakat tak membolehkan shalat seperti ini. Imam Bukhary berkata, “Tak ada beda kamu shalat di belakang raafidhy dan jahamy atau kamu shalat di belakang Yahudi dan Nasrani.” (Khalqu Af’aalil Ibad 125)Mereka ini tak termasuk kelompok yang bisa memberi jaminan, padahal Nabi SAW bersabda, “Imam memberi jaminan (terhadap makmum) dan muazzin diberi kepercayaan (dalam waktu shalat).” (HR Abu Dawud 517)Berkata Al Ainy, “Jaminan artinya pengayoman dan penjagaan, karena ia menjaga shalat makmum. Atau bermakna ia menanggung bacaan makmum, atau menanggung rukun berdiri jika makmum masuk saat ruku, atau sah tidaknya shalat makmum berada di pundaknya, ia seperti menjamin sahnya shalat makmum.” (Syarah Abi Daawud 2/468)

Fitnah takfir (mengkafirkan) dan tabdi’ (membid’ahkan)

Berkata Ibnu Taimiyah, “Tak boleh mengkafirkan seorang muslim karena dosa yang diperbuat atau kesalahan yang dilakukannya, seperti permasalahan yang masih menjadi perselisihan di antara kaum muslimin. Firman Allah SWT yang artinya, ‘Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al Quran) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepadaMu tempat kami kembali.”‘ (QS Al Baqarah: 285).

Tersebut dalam hadits shahih bahwa Allah SWT telah mengabulkan doa ini dan mengampuni kesalahan orang beriman.

Khawarij yang Nabi saw memerintahkan untuk memerangi mereka telah diperangi oleh Ali RA. Ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in pun sepakat membolehkan memerangi mereka. Namun Ali, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan yang lainnya dari kalangan sahabat tak mengkafirkan mereka. Mereka dianggap bagian dari pengikut Islam walaupun diperintahkan untuk diperangi. Ali RA juga tak memerangi mereka kecuali mereka menumpahkan darah dan merampas harta kaum muslimin. Ali RA memerangi mereka karena zalim dan melampui batas, bukan karena mereka kafir, karena itu wanita mereka tak ditawan dan harta mereka tak dirampas.

Jika mereka ini yang sudah jelas sesat menurut nash dan ijma tidak dicap kafir padahal Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memerangi mereka, apalagi terhadap kelompok yang berselisih yang melakukan kesalahan dalam bersikap dan beramal dalam beberapa permasalahan, yang mana orang yang lebih alim dari mereka juga melakukan kesalahan dalam permasalahan yang sama.

Oleh karena itu, kelompok-kelompok yang ada tak boleh saling mengkafirkan, harta dan darahnya tak dihalalkan walaupun sudah jelas pelaku bidah. Lalu bagaimana jika kelompok yang mengkafirkan juga pelaku bid’ah, bahkan mungkin bid’ahnya lebih serius? Permasalahannya secara umum adalah bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak mengetahui hakekat permasalahan yang diperselisihkan.

Pada dasarnya darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin adalah haram tak boleh diganggu kecuali dengan izin Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah dalam khutbah wada di hadapan kaum muslimin bersabda, ‘Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah diharamkan sebagimana diharamkannya hari ini, di negeri ini, di bulan ini.’

Dan Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya.’

Dan Beliau SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melaksanakan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan makan sembelihan kami, maka dia adalah muslim di bawah jaminan Allah dan Rasul-Nya.’

Rasulullullah SAW juga bersabda, ‘Jika dua orang muslim saling membunuh maka pembunuh dan terbunuh di neraka.’ Sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, pembunuh ini (berhak masuk neraka), tapi bagaimana dengan terbunuh?’ Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya dia juga mau membunuh rivalnya.’

Rasulullah SAW juga bersabda, ‘Jangan kalian menjadi kafir sepeninggal saya dan saling membunuh.’

Rasulullah SAW juga bersabda, ‘Jika seorang muslim berkata kepada saudaranya muslim wahai kafir, maka kata itu pasti kembali kepada salah seorang di antara keduanya.’

Hadit hadits ini semuanya terdapat dalam kumpulan hadits shahih.” (Al Fatawa 3/282)

Shalat bermakmum kepada tertuduh ahli bidah

Ingat!

  1. Sah salat bersama tertuduh pelaku bid’ah yang tak nampak melakukan bid’ah tanpa harus menggali kondisinya.
  2. Menurut kesepakatan ulama, wajib shalat bersama pelaku bid’ah yang tak mengakibatkan pelakunya keluar dari Islam jika tak terdapat imam selainnya.
  3. Hendaknya seorang muslim memilih imam berilmu dan lebih dekat kepada sunnah Rasulullah SAW.
  4. Sah shalat bersama pelaku bid’ah yang tak berakibat kafir walaupun ada imam selainnya tapi lebih utama shalat bersama pelaku sunnah.
  5. Tak boleh shalat bersama imam pelaku bidah yang berakibat kafir seperti rafidhah dan jahamiyah ekstrem.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fiqih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (1) Ibadah, Pasal (2) Shalat, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.