Menjenguk dan Mendoakan Nonmuslim yang Sakit

Published by forkitajp on

Terdapat tiga pendapat dalam Mazhab Syafi’i, Hambali, dan lainnya mengenai hukum menjenguk nonmuslim yang sakit.

Pertama: Tidak boleh dengan menqiyaskan hukum memulai mengucap salam kepada nonmuslim.

Kedua: Boleh karena hal tersebut termasuk kebaikan yang tidak dilarang.

Ketiga: Boleh jika disertai niat dakwah.

Yang rajih adalah pendapat kedua yaitu boleh secara mutlak. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Beliau ditanya mengenai kaum muslimin yang hidup bertetangga dengan Nasrani, bolehkan seorang muslim menjenguk jika Nasrani itu sakit? Beliau menjawab, “Tidak apa-apa menjenguknya, karena bisa saja itu mengikat hatinya kepada Islam.” (Al Fatawa Alkubra 3/5)

Menjenguk nonmuslim menjadi lebih dianjurkan jika ia adalah kerabat, tetangga, atau teman, disertai keinginan kuat mengajaknya kepada Islam dengan akhlak dan penjelasan yang baik. Al Atsram (murid Imam Ahmad) berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) ditanya mengenai seorang yang menjenguk kerabat Nasrani yang sakit? Beliau berkata, ‘Boleh.’ Dikatakan kepadanya, ‘Nasrani?’ Beliau berkata, ‘Saya berharap tidak apa-apa.’” (Ahkam Ahlidzdzimmah 3/205)

Dalil bolehnya menjenguk nonmuslim yang sakit:

  1. Rasulullah pernah mengunjungi dan menjenguk nonmuslim yang sakit:

    • Rasulullah menjenguk anak Yahudi.

      Rasulullah punya pembantu anak Yahudi. Anak itu sakit lalu Rasulullah menjenguknya dan duduk di dekat kepalanya seraya berkata, “Masuklah ke Islam” Anak itu melihat kepada bapaknya yang ada di situ, ia berkata kepada anaknya, “Taatilah Abul Qasim (Rasulullah)“. Anak itu masuk Islam, lalu Rasulullah keluar dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka” (HR. Bukhary 1290).

    • Rasulullah menjenguk pamannya Abu Thalib saat sakit menjelang kematiannya.

      Ketika kematian Abu Thalib menjelang, Rasulullah menjenguknya dan ada Abu Jahal di sana, beliau berkata, “Wahai pamanku katakan La Ilaha Illallah, kalimat yang bisa aku jadikan hujjah untukmu di sisi Allah.” Lalu Abu Jahal berkata, “Wahai Abu Thalib! Engkau benci agama Abdul Mutthalib?” Keduanya terus berbicara kepadanya sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan perkataan terakhir, “Saya berada di atas agama Abdul Mutthalib.” Rasulullah lalu berkata, “Saya benar-benar akan memintakan ampun untukmu jika aku tak dilarang.” Lalu turun ayat, “Tidak patut bagi nabi dan orang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik walaupun mereka adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam” (QS. At-Tawbah: 113). Dan turun ayat, “Sesungguhnya kamu tak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi” (QS. Al-Qashash: 56). (HR. Bukhary 3671)

  2. Para sahabat juga melakukannya, seperti Abu Ad Darda’ yang menjenguk tetangganya yang Yahudi (Mushannaf Ibni Abi Syaibah 11927).
  3. Hukum asal menjenguk nonmuslim baik yang sakit maupun yang sehat adalah boleh, tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi harus disertai dengan usaha mengajak kepada Islam karena yang demikian merupakan bentuk kebaikan kepada mereka.

Yang diutamakan bagi seorang muslim adalah menggunakan sebaik mungkin setiap kesempatan untuk mengajak manusia kepada Islam dan momen sakit merupakan salah satu kesempatan dakwah yang bagus. Jadikan harapanmu untuk kesehatan rohani dan hatinya sama dengan keinginanmu melihat dia sehat jasmani, dan jika Allah memberi petunjuk seseorang melalui perantaraanmu maka itu lebih baik bagi kamu daripada harta duniawi terbaik.

Merukyah dan mendoakan kesembuhan nonmuslim yang sakit

Boleh merukyah nonmuslim dengan Quran, doa-doa, dan rukyah yang dibolehkan secara syar’i. Sama hukumnya dengan memberikan obat kepadanya, dan berobat bisa dengan obat alami seperti minuman dan obat-obatan pharmasi, bisa juga dengan sebab sebab syar’iyyah seperti doa dan rukyah syar’iyyah.

Dalilnya adalah hadits Abu Said Al Khudry ketika dia dan beberapa sahabat yang bersamanya singgah di suatu perkampungan suku Arab tapi penduduk kampung itu enggan menjamu mereka. Lalu kepala kampung digigit ular dan mereka meminta kepada rombongan sahabat untuk mengobatinya. Abu Said lalu merukyah kepala kampung itu dengan Al Fatihah dan sembuh. Nabi SAW menampakkan sikap setujunya terhadap rukyah itu dan berkata, “Siapa yang memberi tahu kamu bahwa Alfatihah adalah rukyah” (HR.Bukhary 2156). Nash hadits menunjukkan bahwa penduduk kampung itu adalah nonmuslim karena mereka enggan menjamu para sahabat padahal mereka dalam kondisi sangat membutuhkan pertolongan.

Ibnul Qayyim berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa korban gigitan ular ini sembuh dengan bacaan Alfatihah sehingga dia tidak perlu menggunakan obat, dan mungkin Alfatihah lebih dahsyat efeknya daripada obat padahal objek rukyah kurang mendukung, baik karena penduduk desa itu adalah nonmuslim atau karena mereka bersifat bakhil dan buruk. Lalu bagaimana jika objek rukyah yang mendukung.” (Madarijussalikin 1/55).

Boleh juga mendoakan nonmuslim kesembuhan, kelulusan, supaya mendapat hidayah, dan semacamnya.

Yang tidak boleh adalah mendoakan supaya mendapat ampunan dan dimasukkan surga yang tidak berhak mendapatkannya kecuali muslim bertauhid; Allah berfirman yang artinya, “Tidak patut bagi nabi dan orang-orang beriman meminta ampun untuk orang-orang musyrik walaupun mereka adalah kerabat, sesudah tampak jelas bagi mereka bahwa mereka adalah penduduk neraka Jahannam.

Adapun firman Allah yang artinya, “Dan kami menurunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. Al-Isra: 82), maka sudah barang tentu bahwa orang berimanlah yang mendapat mamfaat, bertambah imannya, dan lapang dadanya dengan mendengar bacaan Al-Quran, dan bahwa orang kafir tidak mendapatkan satupun dari hal tadi kecuali jika ia mengikuti isinya.

Sudah barang tentu juga bahwa orang berimanlah yang banyak mendapat manfaat dengan Al-Quran untuk pengobatan penyakit fisik, tetapi orang tidak beriman juga bisa mendapat manfaat dari Al-Quran dalam pengobatan penyakit fisik seperti yang tersebut dalam hadits Abu Said Alkhudry, dan ayat “dan tidak menambah untuk orang zalim selain kerugian” diartikan dengan menambah mereka kerugian karena mereka mendustakannya dan tidak beriman kepadanya, atau menambah mereka kerugian karena terdapat banyak berita tentang azab yang akan menimpa mereka, wallahu a’lam.

Dan sekiranya ada satu kitab suci yang dengannya gunung-gunung bisa digoncangkan…

Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan sekiranya ada satu bacaan (kitab suci) yang dengannya gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah, atau orang-orang yang sudah mati bisa berbicara…” (QS. Ar-Ra’d: 31).

Al Alusi berkata, “Maksudnya adalah sekiranya ada satu kitab suci, yang dengan ia diturunkan atau dibaca, gunung-gunung bisa digoncangkan dan dipindah dari tempatnya seperti gunung Thur terhadap Musa as, atau ‘bumi bisa terbelah’ dan terbentuk sungai-sungai dan memancar mata air-mata air seperti batu yang dipukul dengan tongkat Musa lalu menjadi terpecah belah, atau ‘orang mati bisa berbicara’, artinya dengan bacaan Al-Quran seseorang bisa menghidupkan orang mati dan mengajaknya berbicara seperti yang terjadi pada Isa AS, maka pastilah kitab itu adalah Al-Quran ini, karena ia adalah kitab yang yang paling banyak mengandung mukjizat kekuasaan dan keagungan Allah. Allah berfirman yang artinya, ‘Seandainya kami menurunkan Al-Quran ini ke atas gunung maka kamu akan melihat dia tunduk dan terpecah belah akibat rasa takut kepada Allah’ (QS. Al-Hasyr: 21).” (Ruhul Ma’any 13/154)

menjenguk nonmuslim yang sakit

Ingat!

  1. Boleh menjenguk nonmuslim yang sakit secara mutlak menurut pendapat jumhur ulama, terutama jika yang sakit adalah kerabat, tetangga, atau teman.
  2. Seorang muslim seharusnya menggunakan sebaik mungkin setiap kesempatan berdakwah kepada Allah, di antaranya kesempatan menjenguk orang sakit.
  3. Boleh mengobati, merukyah, dan mendoakan nonmuslim yang sakit.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fikih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (3) Pergaulan, Pasal (2) Hubungan dengan Nonmuslim, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.