Menikah dengan Wanita Nonmuslim

Published by forkitajp on

Allah memerintahkan kepada orang Islam untuk menikah, mendorong, dan menekankan untuk menikahi wanita yang bagus agama dan akhlaknya, karena ia akan menjadi ibu anak-anaknya dan teman hidupnya.

Allah membolehkan menikahi perempuan nonmuslim kalau terdapat maslahat dengan batasan berikut.

Haram Menikah dengan Wanita Musyrikah (Nonahli Kitab)

Seorang muslim haram menikahi wanita bukan ahli kitab menurut kesepakatan ulama. Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikah sehingga mereka beriman” (QS. Al Baqarah: 221). Allah juga berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian mempertahankan tali pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir” (QS. Al Mumtahanah: 10).

Ibnu Qudamah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai larangan menikahi perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka.” (Al Mughny 6/592)

Hukum ini meliputi seluruh perempuan nonmuslim yang bukan Ahli Kitab, seperti wanita Budha, Hindu, Ateis, Bahai, dll.

Menikah dengan Wanita Ahli Kitab

Seorang muslim pada dasarnya boleh menikah dengan wanita Ahli Kitab. Ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Boleh menikahi mereka dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Allah berfirman yang artinya, “(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang yang diberi kitab sebelum kalian.” (QS. Al Maidah: 5)

Hudzaifah dan Thalhah menurut riwayat menikah dengan wanita Ahli Kitab, dan petunjuk umum larangan menikah dengan wanita musyrik pada ayat, “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman” (QS. Al Baqarah: 221), diberi pengecualian dengan bolehnya menikahi wanita-wanita Ahli Kitab pada ayat, “(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang yang diberi kitab sebelum kalian” (QS. Al Maidah: 5).

Sementara apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar berupa larangan menikahi Ahli Kitab merupakan ijtihad pribadi yang tak mendapatkan persetujuan dari ulama lain, atau untuk menjauhkan orang dari pernikahan seperti itu karena banyak mudharatnya.

Syarat Menikah dengan Wanita Ahli Kitab

  1. Memastikan bahwa calon perempuan betul Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, yang secara umum percaya dengan ajaran agamanya dari mazhab apa saja, baik Protestan, Katolik, atau Ortodoks. Yang jelas dia bukan Ateis, murtad dari agamanya, atau tanpa agama. Bukan setiap yang lahir dari orang tua Nasrani, atau tumbuh di tengah lingkungan Nasrani, otomatis menjadi Nasrani. Bisa saja dia ateis, materialisme, atau ajaran lain yang tidak sah dinikahi menurut ajaran Islam.
  2. Perempuan yang menjaga kehormatan. Islam tidak membolehkan untuk menikahi wanita Ahli Kitab secara keseluruhan. Islam menetapkan syarat ihshan (menjaga kehormatan), Allah berfirman yang artinya, “… dan almuhshanaat (wanita wanita yang menjaga kehormatannya) dari golongan Ahli Kitab” (QS. Al Maidah: 5). Ibnu Katsir menafsirkan, “Yang dimaksud dengan almuhshanaat adalah wanita-wanita yang menjaga diri dari perbuatan zina, sebagaimana dalam ayat lain disebutkan, ‘… sedang merekapun muhshanaat (wanita-wanita yang memelihara diri), bukan pezina, dan bukan pula wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya’ (QS. Annisa: 25).

    Tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk menikahi seorang wanita yang menyerahkan kehormatannya kepada setiap laki-laki. Dia harus menikahi wanita yang lurus, bersih, dan jauh dari syubuhat.

    Tidak bisa dipungkiri bahwa wanita seperti ini jarang, bahkan langka, di negeri barat; hal itu bisa kita ketahui dalam tulisan, laporan, dan data statistik yang mereka buat sendiri. Apa yang kita sebut dengan keperawanan, kehormatan, menjaga diri, dst, tidak memiliki tempat atau nilai sosial di antara mereka. Anak gadis yang tak punya teman pria dicemooh teman-teman, bahkan oleh keluarga dan orang terdekat.

    Aturan syariat dalam menikahi perempuan Ahli Kitab diikat dengan al ihshaan, tak boleh sembarangan, harus yakin dengan terpenuhinya syarat ini.

    Syaqiiq bin Salamah berkata, “Hudzaifah menikahi seorang wanita Yahudi, Umar lantas menulis kepadanya, ‘Hendaklah engkau melepaskannya!’ Hudzaifah menjawab, ‘Apakah engkau menganggapnya haram sehingga saya harus melepasnya?’ Umar berkata, ‘Saya tidak menganggapnya haram, saya cuma khawatir kalian menikahi para pelacur.’ (Tafsir Ibnu Jarir 4223, Mushannaf Abdurrazzaq 3/296, Tafsir Ibnu Katsir 1/583 dan mengatakan bahwa sanadnya shahih)“.

  3. Sebagian ulama memberi syarat bukan perempuan yang memerangi dan memusuhi Islam, termasuk dalam beropini dan berpendapat yang memerangi Islam atau memusuhi salah satu negeri Islam.

    Ibnu Abbas berkata, “Di antara wanita Ahli Kitab, ada yang boleh dinikahi ada juga yang tidak boleh, beliau kemudian membaca firman Allah yang artinya, ‘Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah…,’ siapa yang bayar jizyah maka perempuan mereka boleh dinikahi, yang tidak bayar jizyah perempuan mereka tidak boleh kita nikahi.

    Pendapat ini ketika dikatakan kepada Ibrahim An Nakha’iy, beliau menyukainya (Tafsir At Thabary 9/588). Syeikh Yusuf Al Qardhawy dari kalangan ulama kontemporer menguatkan pendapat ini.

  4. Tidak menimbulkan fitnah atau mudharatnya lebih besar. Perkara yang dibolehkan oleh syariat pada akhirnya dibatasi oleh mudharat yang ditimbulkan, semakin besar mudharat yang ditimbulkan semakin kuat larangannya; Rasulullah bersabda yang artinya, “Tidak ada mudharat dalam hukum syariat dan tidak boleh menyebabkan mudharat.

Di Antara Mudharat Menikah dengan Wanita Ahli Kitab:

  1. Ramai menikah dengan wanita Ahli Kitab akan memperbanyak jumlah gadis muslimah yang tidak menikah; apalagi jika kasusnya di negeri minoritas, kesempatan mereka untuk dinikahi tidak banyak karena terbatas pada laki-laki muslim yang tinggal di tempat yang sama, jika mereka memilih wanita Ahli Kitab, kesempatan itu otomatis berkurang dan akan mengakibatkan mudharat yang besar.

    Umar memerintahkan Thalhah dan Hudzaifah menceraikan istri Ahli Kitab (Al Mushannaf 3/296), Ibnu Jarir mengomentari perintah ini, “Umar tidak senang Thalhah dan Hudzaifah menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani karena khawatir akan diikuti oleh yang lainnya lalu meninggalkan gadis muslimah, atau dengan maksud lainnya, karena itu beliau memerintahkan keduanya untuk menceraikan kedua istri mereka.” (Tafsir Atthabary 4/366)

  2. Al Wilayah (kekuasaan, kekuatan) tidak berada di tangan orang Islam. Muslim yang menikah dengan perempuan Ahli Kitab di negeri nonmuslim menikah sesuai aturan negeri tersebut. Dalam aturan itu tidak menempatkan kekuasaan atas istri dan anak-anak di tangan suami. Kalau terjadi cekcok dan istri marah, ia bisa membuat rumah tangga berantakan, dan dengan gampangnya ia kabur dan membawa anak-anak dengan kekuatan aturan yang ada di negeri tersebut.
  3. Suami dalam posisi khawatir atas kemaslahatan anak-anaknya, misalnya ia takut anaknya dipaksa untuk tidak ikut agama Islam, diambil paksa darinya dan diserahkan kepada ibunya yang Yahudi atau Nasrani lalu mendidiknya sesuai dengan keyakinannya, seperti yang banyak terjadi di banyak negara nonmuslim, wal ‘iyaazu billaah.

Ibnu Jarir menyebutkan di antara syarat menikah dengan perempuan Ahli Kitab, “Tidak berada pada posisi mengkawatirkan anak-anaknya dipaksa untuk tidak ikut Islam.” (At Thabary 9/589)

Menilik kondisi di atas, maka secara umum pada zaman ini akan lebih baik dan menjadi pilihan yang lebih hati-hati untuk tidak menikah dengan wanita Ahli Kitab, karena sulitnya memenuhi persyaratan yang telah disimpulkan para ulama, dan kuat dugaan pernikahan seperti itu akan menimbulkan banyak mudharat.

Sementara Rasulullah telah menegaskan dalam wasiatnya untuk tidak sekedar menikah dengan yang beragama Islam, tapi benar-benar memperhatikan kualitas agama, ketaqwaan, dan kebaikannya.

Di Antara Dua Zaman

Terdapat perbedaan mendasar antara zaman kita sekarang dengan masa kejayaan Islam. Faktanya adalah jika seorang wanita Ahli Kitab menikah dengan muslim taat, di tengah masyarakat muslim yang kuat memegang agama – seperti pada masa kejayaan Islam – maka istri akan ada pada posisi terpengaruh, bukan mempengaruhi. Pada kondisi ini, ada harapan besar sang istri akan masuk Islam dengan keyakinan dan perbuatan. Jikapun ia tak masuk Islam – dan itu haknya karena tak ada paksaan dalam beragama – dengan keyakinan dan perbuatan, minimal ia ber-Islam dengan kebiasaan dan sopan santun sosial. Artinya, dia akan tercebur ke dalam masyarakat Islam pada tataran amal, walaupun ia tak tercebur dalam tataran keyakinan. Dengan demikian tak dikhawatirkan dia akan mempengaruhi suami atau anak-anaknya karena kekuasaan sosial di sekelilingnya lebih kuat dan lebih besar dari upaya dia sendiri kalau ada.

Pada zaman itu, kekuatan dan kekuasaan laki-laki menjadi gambaran umum di masyarakat. Girah suami atas agama, keinginan kuat mendidik anak dengan baik, menjaga aqidah, dan kekuasaannya atas keluarganya, tidak meninggalkan celah bagi istri untuk bisa memberi pengaruh yang bertentangan dengan nilai Islam kepada anak-anaknya.

Adapun dewasa ini, jika seorang muslim menikahi wanita nonmuslim di negara wanita itu, maka dia akan diatur oleh peraturan setempat yang berpihak kepada pihak istri dan tidak mengakui perwalian suami atas istri dan anak-anaknya, memberikan kepada istri hak untuk mengambil anak-anak dengan kekuatan undang-undang.

Jika ia menikahinya di negeri muslim, maka diapun tak akan leluasa menghindar dari tekanan kedutaan negara sang perempuan. Kita tak bisa memungkiri kenyataan lemahnya posisi tawar negeri-negeri muslim, perpecahan, dan keterbelakangannya di hadapan kekuatan negeri-negeri barat, persatuan, dan pembelaannya yang mati-matian terhadap hak-hak warganya.

Suatu perkara yang dibolehkan pada satu masa belum tentu boleh pada masa yang berbeda. (Fatwa Yusuf Alqardhawy mengenai hukum menikah dengan wanita Ahli Kitab).

Menikah dengan wanita nonmuslim

Ingat!

  1. Agama Islam menganjurkan untuk menikahi perempuan yang kuat agama, ketaqwaan, dan keshalehan.
  2. Haram menikahi wanita nonmuslim yang bukan Ahli Kitab menurut ijma’ ulama.
  3. Menikahi wanita Ahli Kitab pada dasarnya dibolehkan selama memenuhi syarat, sebagaimana dijelaskan Alquran, Sunnah, dan perbuatan shahabat.
  4. Secara umum, Ahli Kitab adalah pemeluk Yahudi atau Nasrani yang percaya kepada ajaran agamanya, yaitu beriman kepada Allah, agama-Nya, risalah-Nya, dan Hari Akhir, bukan yang tak percaya agama atau yang atheis.
  5. Wanita Ahli Kitab yang boleh dinikahi disyaratkan yang menjaga kehormatannya, bukan yang menyerahkan dirinya kepada laki-laki manapun. Diharuskan yang bersih, lurus, dan jauh dari syubuhat pergaulan bebas.
  6. Disyaratkan tidak ada kekhawatiran nanti anak-anak diambil paksa dari bapaknya, lalu ikut ibunya yang nonmuslim dan dijauhkan dari Islam.
  7. Untuk kondisi dewasa ini, lebih baik dan lebih hati-hati untuk tidak menikah dengan perempuan nonmuslim, karena persyaratan yang susah dipenuhi dan beberapa mudharat yang sudah pasti terjadi.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fikih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (3) Pergaulan, Pasal (1) Laki-laki dan Perempuan, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.