Hubungan antara Laki-laki dan Perempuan

Published by forkitajp on

Hubungan Saling Melengkapi

Hubungan antara laki-laki dan perempuan menurut syariat adalah hubungan saling melengkapi dalam rangka membangun masyarakat Islam.

Ide tentang konflik antara laki-laki dan perempuan berakhir dengan dominasi laki-laki atas perempuan, seperti terjadi di masyarakat jahiliyah, atau dengan pemberontakan kaum perempuan dan menjauhnya dari watak dan tabiatnya sebagai perempuan sebagaimana yang terjadi pada masyarakat yang jauh dari aturan Allah.

Semua itu tak akan terjadi jika mereka tak menjauh dari aturan Allah Yang Mahabijaksana yang mengajarkan kita, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu melebihi sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS. Annisa: 32). Semua punya keistimewaan, tugas, dan kemuliaan. Semua berusaha untuk mendapatkan karunia dan ridha Allah. Syariat tidak diturunkan untuk kepentingan laki-laki saja, bukan juga untuk kepentingan perempuan saja. Syariat datang untuk kepentingan semua dan kepentingan masyarakat muslim.

Tak ada tempat dalam ajaran Islam untuk pertentangan antara laki-laki dan perempuan, berlomba-lomba mengejar dunia, serangan untuk laki-laki, serangan untuk perempuan, usaha menjatuhkan yang satu dari yang lain, dan usaha mengungkap aib dan kekurangan.

Semua itu tidak ada gunanya dari satu sisi, dan salah memahami ajaran Islam dan hakikat tugas dan fungsi masing-masing dari lain sisi. Semua perlu meminta karunia Allah semata.

Manusia Diciptakan Bersifat Lemah

Allah berfirman, “Dan manusia diciptakan bersifat lemah” (QS. Annisa: 28). Thawus berkata, “Dalam urusan perempuan.” Waki’ berkata, “Laki-laki hilang akal menghadapi perempuan.” (Ibnu Katsir 2/267)

Ketika Allah mewajibkan hijab bagi perempuan, Dia menempatkan aturan tersebut dalam satu kesatuan hukum yang berjalan seiring untuk menjaga laki-laki dan perempuan dari fitnah.

Nafsu seks dan syetan yang mengalir dalam darah anak cucu Adam menunggu kesempatan apapun untuk mendorong nafsu tersebut untuk memenuhi keinginan seksual.

Hadits: “Saya tidak meninggalkan ujian yang lebih berat bagi laki-laki selain ujian perempuan” (Albukhary 4808) dan hadits-hadits lain yang serupa, ditujukan pertama kali untuk generasi terbaik sepanjang sejarah manusia, generasi yang paling jauh dari dari dosa, generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum. Tak pantas rasanya bagi seorang mengatakan saya aman dan bisa mengendalikan diri.

Alqurthuby menafsirkan ayat, “Dan apabila kamu meminta suatu keperluan dari istri-istri nabi maka mintalah dari belakang tabir, yang demikian lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka,” yaitu dari pikiran yang terlintas dalam hati laki-laki tentang perempuan, dan pikiran yang terlintas dalam hati perempuan tentang laki-laki, artinya yang demikian lebih aman dari tuduhan dan lebih kuat penjagaannya. Ini menunjukkan bahwa seorang janganlah terlalu percaya diri untuk berkhalwat dengan perempuan nonmahram, menjauhinya adalah lebih baik, lebih aman, dan lebih terjaga dari dosa. (14/228)

Kalau berbicara dari belakang tabir lebih suci bagi hati ummahatul mukminin dan hati para sahabat serta tabi’in yang meminta atau menanyakan sesuatu, sudah barang tentu menjauhi ikhtilat antara laki-laki dan perempuan semampu mungkin akan lebih suci bagi hati kita; kita siapa dibanding mereka?

Namun demikian, jika ada keperluan untuk berinteraksi dengan lawan jenis maka lakukanlah dengan cara yang terbaik.

Imam Malik ketika ditanya tentang perempuan tua yang meminta pertolongan seorang laki-laki lalu ia membantu dan melayani kebutuhannya, apakah itu sesuatu yang baik? Beliau mengatakan “Tak masalah, tapi sebaiknya ditemani laki-laki lain, dan jika perempuan tersebut tidak dibantu maka akan menderita.” Ibnu Rusyd berkata, “Tak masalah jika ia menundukkan pandangan dari memandang yang tidak diperkenankan dari ziinah (perhiasan, pakaian dan aurat).” (Mawahibul Jalil 16/51)

Tinggal di Negeri Nonmuslim Tidak Menghapus Aturan Agama

Muslim atau muslimah tinggal di negeri nonmuslim tak berarti boleh meninggalkan hukum-hukum agama, di antaranya hukum yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Jika seorang muslim mendapati seorang perempuan, baik muslimah atau nonmuslim, yang tidak mengikuti aturan Allah dalam berpakaian dan berinteraksi, tidak berarti ia boleh seenaknya berinteraksi dengannya sesuai standar kesesatan dan penyimpangannya. Sebaliknya, dalam kondisi seperti ini lebih ditekankan untuk menjaga pandangan dan adab pergaulan.

Assyaukani berkata, “Aturan agama wajib atas kaum muslimin dimanapun mereka berada, negeri nonmuslim tidak menghapus peraturan agama.” (Assail Aljarraar 4/552)

Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fikih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (3) Pergaulan, Pasal (1) Laki-laki dan Perempuan, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.