Hari Raya Nonmuslim

Published by forkitajp on

Hari raya merupakan syiar agama dan kepercayaan

Hari raya merupakan salah satu syiar terpenting agama dan kepercayaan. Allah menjadikan bagi kaum muslimin dua hari raya sebagai simbol rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan berupa musim kebaikan dan ketaatan. Idul Fitri datang setelah menyempurnakan bulan Ramadhan dengan puasa dan shalat malam. Idul Adha sebagai hari Haji Akbar, dimana para hujjaj menghilangkan kotoran mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan melakukan thawaf di rumah tua (Baitullah), serta sebagai pelengkap sepuluh hari yang mulia (sepuluh hari awal Zulhijjah) dimana amal saleh di dalamnya merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT.

Dilarang menjadikan satu hari lain selain dua hari raya tersebut sebagai hari raya yang dimuliakan. Dari Anas, beliau berkata bahwa dulu di masa jahiliyah penduduk Madinah memiliki dua hari raya setiap tahun dimana mereka bergembira dan bermain. Setelah Rasulullah datang ke Madinah, beliau berkata, “Kalian dahulu memiliki dua hari raya dimana kalian bergembira dan bermain, sekarang Allah telah menggantikan dua hari raya itu dengan dua hari raya yang lebih baik, Idul Fitri dan Idul Qurban.” (Annasai 1557)

Bagaimana jika hari raya tersebut merupakan bagian dari kepercayaan kufur dan syirik sebagai momen untuk melaksanakan syiar dan ibadah nonmuslim? Menampakkan kegembiraan dan pesta, seperti perayaan tahun baru, natal, paskah, dll, tentunya lebih terlarang lagi.

Merayakan hari raya nonmuslim

Ulama sepakat melarang perayaan hari raya nonmuslim, atau ikut bergembira dengan perayaan mereka. Dalilnya adalah:

  1. Firman Allah yang artinya, “Dan orang-orang yang tidak menghadiri azzuur (majlis dosa), dan jika mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan hal-hal yang tidak berguna, mereka melewatinya saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS. Alfurqan: 72). Abu Al’aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirin, Addhahhak, Arrabi’ bin Anas dan yang lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan azzuur adalah hari raya orang musyrik (Ibnu Katsir 6/130).
  2. Merupakan tindakan tasyabbuh (menyerupai nonmuslim) yang sangat jelas, sementara Rasulullah bersabda, “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” (Abu Dawud 4031). Abdullah bin Al ’Ash berkata, “Barang siapa menetap di negeri suatu kaum lalu ikut merayakan hari raya mereka dan menyerupai mereka sampai mati, maka ia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat” (Al Baihaqy 18642, sahih menurut Ibnu Taimiyah di Al Iqtidha 1/754).
  3. Turut merayakan menunjukkan rasa cinta dan suka kepada mereka, sementara Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai sekutu, pemimpin, penolong, dan kekasih, sebagian mereka merupakan sekutu, pemimpin, penolong, dan kekasih sebagian yang lain” (QS. Almaidah: 51). Allah juga berfirman yang artinya, “Janganlah kalian menjadikan musuhku dan musuh kalian sebagai sekutu, pemimpin, penolong, dan kekasih yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian” (QS. Almumtahanah: 1).
  4. Merupakan syiar agama dan kepercayaan. Abu Bakar ketika ke tempat Aisyah RA dan mendapati dua orang budak perempuan bernyanyi tentang Hari Bu’ats, dia mengingkari dan berkata, “Seruling syaitan di rumah Rasulullah?” Rasulullah lalu berkata kepadanya, “Setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kita” (Bukhary 909). Hari raya merupakan syiar dan urusan keagamaan dan ideologi yang membedakan antara seorang muslim dan pemeluk agama lain, bukan persoalan budaya dan kebiasaan.

    Ibnul Qayyim berkata, “Orang Islam tidak boleh menghadiri hari raya orang musyrik menurut kesepakatan ulama yang benar-benar berilmu.” Para fuqaha empat mazhab juga menyatakan demikian di dalam kitab mereka.

    Albaihaqy meriwayatkan dengan sanad sahih dari Umar bin Khattab RA bahwa beliau berkata, “Jangan masuk ke gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka karena murka turun kepada mereka.” Beliau juga berkata, “Jauhi musuh-musuh Allah pada hari raya mereka.” Albaihaqy juga meriwayatkan dengan sanad bagus (jayyid) dari Abdullah bin Amr bahwa beliau berkata, “Barang siapa yang mengunjungi negeri/tempat nonmuslim lalu ikut merayakan hari raya mereka dan meyerupai mereka lalu ia mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat” (Ahkam Ahlidz Dzimmah 1/723-724).

Mengucapkan selamat pada hari raya nonmuslim

Tidak boleh mengucapkan selamat untuk nonmuslim pada hari raya mereka, terutama perayaan keagamaan karena secara tidak langsung menolong dan menyetujui kesesatan mereka, engkau seakan-akan mengucapkan selamat karena ia sujud kepada salib dan beribadah di gereja. Diriwayatkan bahwa terdapat kesepakatan ulama dalam hal ini, begitu juga dalam masalah menjawab ucapan selamat dari mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Haram memberikan ucapan selamat untuk syiar khusus nonislam. Maka ulama sepakat melarang memberikan ucapan selamat untuk hari raya dan momen puasa mereka dengan mengucapkan, ‘Ied Mubarak untukmu’, atau ‘Selamat hari raya’, dsb. Jika mengucapkan selamat seperti itu tidak sampai mengakibatkan kekufuran, maka yang pasti hal tersebut diharamkan. Ini sama saja dengan memberikan selamat karena ia meyembah salib, bahkan lebih berbahaya daripada mengucapkan selamat kepada orang yang minum khamar, membunuh, berzina, dsb. Banyak orang yang tak terlalu perhatian terhadap agama mengerjakan hal tersebut sementara ia tidak tahu bahaya perbuatannya. Barang siapa yang memberikan selamat kepada seseorang karena maksiat, bid’ah, dan kekufuran maka ia telah mendatangkan benci dan murka Allah. Orang-orang wara selalu berusaha menghindari untuk tidak mengucapkan selamat kepada orang zalim yang mendapatkan jabatan baru, atau kepada orang bodoh yang medapatkan jabatan di kehakiman, pendidikan, dan lembaga fatwa demi menghindari turunnya murka Allah kepada mereka.” (Ahkam Alidz Dzimmah 1/144)

Fatwa kontemporer

Beberapa ulama kontemporer memfatwakan bolehnya mengucapkan selamat kepada nonmuslim pada momen hari raya mereka, terutama jika ada hubungan tetangga, pertemanan, dan kerabat. Hal ini tidak benar dengan alasan:

  • Menyalahi kesepakatan ulama seperti yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim, dll.
  • Bukan termasuk perbuatan baik kepada nonmuslim yang hidup berdamai dengan ummat Islam, karena tidak terdapat riwayat bahwa Rasulullah pernah memberikan selamat kepada orang Yahudi padahal beliau lama hidup berinteraksi dengan mereka dan beliau adalah orang paling mulia akhlaknya.
  • Mengqiyaskan ucapan selamat dengan menjawab salam dan memenuhi undangan adalah qiyas yang tidak sepadan karena ia tak ada hubungannya dengan syiar agama. Berbeda dengan merayakan dan mengucapkan selamat hari raya yang sangat erat hubungannya dengan syiar dan simbol agama seperti dalam hadits, “Setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kita” (Albukhary 909).
  • Adapun riwayat dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Seandainya Firaun berkata kepadaku بارك الله فيك (Semoga Allah memberkatimu) maka akan kujawab وفيك (dan untukmu)” (Al Adab Al Mufrad 1113), sama hukumnya dengan menjawab salam dan berkata baik, tidak ada perdebatan dalam masalah ini. Adapun mengucapkan selamat hari raya urusannya beda seperti yang telah diterangkan.
  • Apa yang dikatakan bahwa Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim sangat keras dalam masalah hari raya nonmuslim karena kondisi ummat Islam pada waktu itu sangat lemah dan terpecah di depan kekuatan dan persatuan musuh-musuh Islam adalah anggapan yang salah. Mereka berdua menukil pendapat ulama sebelumnya, bahkan menukil kesepakatan ulama dalam masalah ini. Jika merujuk kepada kondisi, dewasa ini ummat Islam hidup dalam kondisi yang sama bahkan lebih buruk.

Jika seorang muslim merasa tidak enak di tempat kerja atau di kampus karena tidak menjawab ucapan selamat dari kolega pada momen hari raya mereka, maka boleh saja menjawab dengan perkataan yang baik yang tidak mengandung ucapan selamat atas hari raya.

Menerima hadiah hari raya nonmuslim

Masalah ini sudah diterangkan, intinya boleh menerimanya selama tidak berupa sembelihan untuk hari raya atau yang mengandung syiar agama, seperti salib, dsb.

Membantu membeli, meminjam, dan menyewa perlengkapan hari raya nonmuslim

Seorang muslim tidak boleh membantu nonmuslim dalam bentuk apapun untuk keperluan hari raya dan pesta yang menyertainya, seperti menjual kartu ucapan selamat, pohon natal, lilin, dsb, karena yang demikian termasuk dalam tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran; Allah berfirman yang artinya, “Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran” (QS. Almaidah: 2).

Ibnu Habib Almalaiky berkata, “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa seorang muslim tidak boleh membeli dari orang Nasrani segala yang berhubungan dengan hari raya mereka? Tidak daging, tidak lauk, tidak kain, tidak meminjamkan kendaraan, dan tidak membantu apapun untuk keperluan hari raya, karena itu semua mengandung arti menghormati kesyirikan dan menolong kekafiran mereka. Para penguasa harus melarang ummat Islam untuk melakukan hal tersebut. Ini adalah pendapat Al Imam Malik dan yang lainnya, saya tidak mengetahui ada yang menyalahinya.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqim 2/526)

Beliau menambahkan, “Adapun menjual kepada nonmuslim pada momen hari raya mereka segala kebutuhan hari raya berupa makanan, pakaian, parfum, dsb, atau menghadiahkannya kepada mereka, ini termasuk membantu pelaksanaan hari raya mereka yang diharamkan.” (Al Iqtidha 2/526)

Begitu juga dengan hukum membantu orang Islam yang menyerupai nonmuslim dan merayakan hari raya mereka.

Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang muslim tidak boleh menjual kepada orang muslim lain keperluan yang akan digunakan untuk merayakan hari raya nonmuslim berupa makanan, pakaian, dsb, karena itu termasuk menolong untuk kemungkaran.” (Aliqtidha 2/520)

Menikmati hidangan hari raya mereka

Tidak boleh memenuhi undangan untuk menghadiri pesta perayaan hari raya mereka. Tapi kalau diberi hadiah berupa makanan hari raya, maka boleh diambil selama ia bukan berupa sembelihan, karena pada umumnya sembelihan bukan atas nama Allah.

Memeriahkan pesta dan bertamasya dalam rangka momen hari raya nonmuslim

Harus hati-hati dalam melakukan kegiatan yang tidak biasanya dilakukan bertepatan dengan momen hari raya mereka, seperti jalan-jalan, menikmati kuliner tertentu, atau memakai pakaian baru, karena bisa masuk kategori menyerupai nonmuslim berbahagia dan bersenang-senang dalam menyambut hari raya mereka.

Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak boleh membuat hidangan, membiarkan anak-anak main-mainan hari raya, atau menampakkan hiasan. Intinya tidak boleh mengkhususkan momen hari raya dengan sesuatu yang berkaitan dengan syiar mereka, jadikan hari raya itu sama dengan hari-hari lain” (Majmu’ Alfatawa 25/923). Beberapa ulama Maliki berkata, “Barang siapa memecahkan semangka pada hari raya Nairouz, maka ia seperti menyembelih babi” (Alluma’ fil Hawadits wal Bida’ 1/492).

Jika kaum muslimin di negeri minoritas tak mendapatkan waktu untuk jalan-jalan kecuali pada momen libur hari raya nonmuslim, maka mereka boleh saja pergi bertamasya dengan keluarga pada kesempatan tersebut tapi disertai penjelasan kepada anak-anak konsep alwala’ dan albara’, larangan menyerupai nonmuslim, dan larangan ikut merayakan momen hari raya mereka. Ingatkan bahwa mereka bertamasya karena hari libur nasional bukan karena yang lain.

Beberapa hari raya nonmuslim
  1. Hari raya tahun baru, tiap 1 Januari
  2. Tahun Baru China, biasanya sebulan setelah tahun baru masehi
  3. Hari Valentine, 14 Februari
  4. Hari Paskah, hari Ahad bertepatan bulan purnama antara 22 Maret dan 25 April
  5. Jumat Agung, hari Jumat sebelum hari Paskah
  6. Hari Raya Ganesha, harinya berganti sesuai kalender Hindu, biasanya antara 20 Agustus dan 15 September
  7. Hari Raya Pengucapan Syukur (Thanksgiving Day), hari Kamis sebelum Sabtu terakhir bulan November
  8. Hari Halloween, 31 Oktober
  9. Hari Natal, 25 Desember
  10. Hari Cahaya, berganti sesuai kalender Hindu, biasanya di bulan September, Oktober, atau November

Ingat!

  1. Hari raya merupakan syiar terpenting agama dan kepercayaan.
  2. Ulama sepakat haram turut memperingati hari raya nonmuslim karena mengandung arti persetujuan terhadap kekafiran dan kesyirikan.
  3. Tidak boleh mengucapkan selamat kepada nonmuslim bertepatan untuk momen hari raya keagamaan mereka karena sama artinya dengan memberi selamat atas kekafirannya kepada Allah SWT.
  4. Boleh menerima hadiah hari raya dari nonmuslim selama bukan berupa barang yang diharamkan.
  5. Tidak boleh membantu nonmuslim dalam bentuk apapun untuk keperluan perayaan hari keagamaan, baik menjual, menyewakan, meminjamkan, dsb; begitu juga terhadap orang Islam yang ikut merayakan dan menyerupai nonmuslim.
  6. Tidak boleh mengkhsuskan momen hari raya nonmuslim untuk membuat hidangan, tamasya, pesta, atau untuk bergembira dan bersenang-senang.
  7. Boleh menggunakan kesempatan libur nasional yang bertepatan dengan hari raya nonmuslim untuk jalan-jalan disertai penjelasan kepada anak-anak mengenai konsep alwala’ dan albara’.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fikih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (3) Pergaulan, Pasal (2) Hubungan dengan Nonmuslim, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.