Bolehkah Mengatakan “Saudara Kristen Kita”?

Published by forkitajp on

Hukum asal Al-Bara’ (berlepas diri) dari nonmuslim

Sudah menjadi ketetapan dalam beberapa nash Al-Quran dan Sunnah tentang prinsip Al-Wala’ (keberpihakan) terhadap kaum muslimin dan Al-Bara’ (berlepas diri) dari nonmuslim.

Setiap mukmin bertauhid yang komitmen dengan perintah dan larangan agama wajib dicintai, dibela, dan ditolong. Dan semua yang menyalahi karakter tersebut wajib bertaqrrub kepada Allah dengan membenci, memusuhi dan menyelisihinya walaupun ia kerabat terdekat, Allah berfirman:

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Persaudaraan hakiki

Al-Quran menjelaskan bahwa persaudaraan hakiki yang memerlukan cinta, pertolongan, dan loyalitas adalah persaudaraan dalam agama. Allah berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sesungguhnya hanya orang beriman yang bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Innama” adalah partikel pembatas, artinya hanya orang beriman yang bisa mendapatkan hak persaudaran dalam agama.

Rasulullah saw bersabda, “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzaliminya, tidak boleh memperdayanya. Barang siapa yang membantu hajat saudaranya maka Allah akan membantu hajatnya, barang siapa yang membebaskan kesusahan saudaranya maka Allah akan membebaskan kesusahannya pada hari kiamat, dan barang siapa menutup aib saudaranya maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhary 2310)

Hak ini otomatis didapatkan oleh seorang muslim sejak ia masuk Islam apapun warna kulitnya, dan dari negeri dan ras apapun dia berasal. Allah berfirman:

فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At-Taubah: 11)

Persaudaraan darah dan suku

Al-Quran tidak menafikan hubungan nasab antara muslim dengan noslim, walaupun ia termasuk penentang Allah, yang tidak boleh adalah hubungan kasih sayang. Allah berfirman:

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan rasul-Nya sekalipun mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka).” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Nabi Ibrahim memanggil bapaknya yang tidak beriman dengan “Wahai bapakku!” Allah berfirman:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا [٤١] إِلِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئًا [٤٢]

Ceritakanlah wahai Muhammad kisah Ibrahim di dalam Al-Quran ini, sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat percaya dan seorang nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun.’” (QS. Maryam: 41-42)

Adapun firman Allah:

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

Allah berfirman, ‘Hai Nuh sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik.’” (QS. Hud: 46)

Artinya menurut para ahli tafsir bahwa Nuh bertanya, “Wahai Tuhanku, Engkau telah menjanjikan untuk menyelamatkan keluargaku dari banjir, dan ini anakku mau tenggelam?” Lalu Allah menerangkan bahwa ia tidak termasuk keluarganya yang dijanjikan mendapat keselamatan dari banjir, tetapi yang dijanjikan keselamatan adalah yang beriman dari keluargamu, sementara dia tidak termasuk ke dalam golongan tersebut. Dia termasuk yang telah ditetapkan tidak beriman dan tenggelam. (Tafsir Ibnu Katsir 4/325)

Al-Quran juga menunjuk hubungan persaudaraan nasab dan kerabat walaupun dari hubungan yang jauh, seperti tersebut pada kisah-kisah nabi yang diutus kepada kaum mereka dan menyebut mereka sebagai saudara padahal mereka tidak beriman. Allah berfirman:

Dan Kami telah mengutus kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syuaib.” (QS. Al-A’raf: 85, Hud: 84, Al-Ankabut: 36)

Dan ingatlah Hud saudara kaum ‘Ad.” (QS. Al-Ahqaf: 21)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh.” (QS. An-Naml: 45)

Bahkan Al-Quran menyebut persaudaraan antara Luth dengan kaumnya padahal dia bukan berasal dari mereka, bukan dari kabilah mereka, dia adalah keponakan Nabi Ibrahim yang bermigrasi bersamanya ke Syam, Allah berfirman:

فَآمَنَ لَهُ لُوطٌ ۘ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَىٰ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Maka Luth membenarkan kenabiannya (Ibrahim) dan berkatalah Ibrahim, ‘Sesungguhnya aku akan berpindah ke tempat yang diperintahkan Tuhanku kepadaku, sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’” (QS. Al-Ankabut: 26)

Lalu Allah mengutus dia ke Saddum dan negeri-negeri sekitarnya. Dia mengajak mereka untuk beriman kepada Allah, menyeru mereka kepada yang baik dan mencegah dari apa yang mereka selalu kerjakan berupa perbuatan dosa, perbuatan haram, dan perbuatan keji. Walaupun demikian Allah menyebutkan:

إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ

Ketika saudara mereka, Luth, berkata, ‘Mengapa kalian tidak bertaqwa?’” (QS. Asy-Syu’ara: 161)

Persaudaraan yang dimaksud di sini adalah persamaan tempat tinggal atau persaudaraan kemanusiaan secara umum.

Catatan penting

Perlu diperhatikan bahwa penyebutan kata persaudaraan antara para nabi dan kaum mereka pada konteks bahwa mereka para nabi berasal dari golongan mereka dan saudara dalam kemanusiaan, dimana mereka mengetahui kejujuran dan kebenaran nabi-nabi mereka, yang mana mereka dengan kondisi seperti itu sudah selayaknya membenarkan dan beriman kepada risalah mereka seperti disebutkan oleh Allah:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka,dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan sesungguhnya sebelum kedatangan nabi itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164)

Dan ketika penyebutan kata saudara di sini tidak mengisyaratkan bahwa para nabi itu turut bersama dalam kebatilan mereka, seperti dalam kisah Syuaib yang dikatakan sebagai saudara penduduk Madyan; firman Allah, “Dan kepada penduduk Madyan kami utus saudara mereka, Syuaib.” Tapi ketika mereka dinisbatkan kepada Al-Aikah (pohon besar yang mereka sembah), Allah tidak menyebutkan Syuaib sebagai saudara mereka supaya tidak terjadi salah persepsi bahwa Syuaib turut dalam kebatilan mereka; Allah berfirman, “Kaum Al-Aikah telah mendustakan para rasul, ketika Syuaib (tanpa kata akhuhum) mengatakan kepada mereka, ‘Tidakkah kalian bertaqwa?’

Ibnu Katsir berkata, “Mereka ini – Ahlul Aikah – adalah penduduk Madyan menurut pendapat yang benar. Nabi Syuaib berasal dari kaum mereka, akan tetapi di sini tidak mencantumkan kata ‘Akhuhum Syuaib’ (Saudara mereka, Syuaib), karena mereka dinisbatkan kepada Al-Aikah, pohon yang mereka sembah. Karena itu ketika Allah mengatakan, ‘Kaum Al-Aikah telah mendustakan para rasul,’ Allah tidak mengatakan, ‘Ketika saudara mereka, Syuaib, berkata kepada mereka,’ tetapi mengatakan, ‘Ketika Syuaib berkata kepada mereka.’ Allah tidak menisbatkan persaudaraan di antara mereka ketika mereka dinisbatkan kepada Al-Aikah, walaupun Syuaib merupakan saudara mereka dalam nasab. Banyak orang yang tidak menyadari hal ini…” (Tafsir Ibnu Katsir 6/158).

Jadi menurut pendapat yang rajih, tidak apa-apa memakai kata saudara kepada nonmuslim jika hal tersebut dalam konteks dakwah dan penguatan ikatan hati untuk masuk ke dalam agama Allah, dengan tetap memperhatikan konsep Al-Wala’ dan Al-Bara’, dan bukan pada konteks yang menimbulkan dugaan partisipasi dalam kebatilan, apalagi dalam Al-Quran tersebut kata saudara antara muslim dan nonmuslim.

Kata saudara tidak boleh disebutkan dalam konteks peleburan batas perbedaan antara muslim dan nonmuslim, dan menganggap remeh konsep ikatan iman terkuat yaitu mencintai karena Allah, membenci karena Allah, seperti yang banyak terdengar di berbagai platform. Bisa saja mengganti kata saudara di sini dengan kata-kata lain dengan makna tertentu yang tidak menimbulkan permasalahan di kalangan orang banyak.

Ingat!

  1. Persaudaraan hakiki adalah persaudaraan dalam bingkai agama dan keimanan, persaudaraan yang berefek pada hak loyalitas, pertolongan, cinta kasih, dll.
  2. Syariat menyebut hubungan saudara karena nasab walaupun berbeda kepercayaan, akan tetapi menegaskan hukum asli Al-Wala’ dan Al-Bara’.
  3. Tersebut dalam Al-Quran kata saudara antara muslim dan nonmuslim yang mempunyai hubungan kerabat dekat ataupun jauh dalam konteks nikmat Allah mengutus rasul kepada ummat manusia sebagai saudara mereka yang mereka tahu kejujuran dan kebenarannya, dan dengan itu sudah sewajarnya mereka beriman dan mengikutinya.
  4. Boleh menyebutkan kata saudara kepada nonmuslim dalam koteks dakwah dan penguatan ikatan hati dengan tetap merawat konsep Al-Wala’ dan Al-Bara’ dalam hati kaum muslimin.
  5. Tidak boleh menyebut kata saudara kepada nonmuslim pada konteks peleburan batas-batas perbedaan dan menganggap remeh bahwa ikatan iman terkuat adalah mencintai dan membenci karena Allah.
  6. Tidak boleh menisbatkan kata saudara pada konteks yang menimbulkan dugaan partisipasi dalam kebatilan.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fikih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (3) Pergaulan, Pasal (2) Hubungan dengan Nonmuslim, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.