Berjabat Tangan dengan Perempuan Asing

Published by forkitajp on

Berjabat tangan adalah mempertemukan dua telapak tangan.

Perempuan asing adalah bukan istri dan bukan mahram. Mahram adalah yang haram dinikahi secara permanen karena ikatan darah, persusuan, dan pernikahan.

Hukum Berjabat Tangan dengan Perempuan Muda

Jumhur ulama dari empat mazhab mengharamkan berjabat tangan tanpa penghalang/pelapis dengan perempuan muda yang wajahnya tidak rusak walaupun tak menimbulkan syahwat. Berikut pendapat para ulama:

Mazhab Hanafi:

Disebutkan dalam buku Tabyinul Haqaiq Syarhu Kanzid Daqaiq karangan Azzaila’iy, “Dia (laki-laki) tidak boleh menyentuh wajahnya (perempuan) dan kedua telapak tangannya, walaupun tak menimbulkan syahwat karena kehadiran mahram. Hukum seperti ini jika perempuan itu masih menarik. Jika ia sudah sepuh dan tak menarik maka tidak apa-apa berjabat tangan dan memegang tangannya karena tidak ada kekhawatiran dengan godaan syahwat.” (6/18)

Mazhab Maliki:

Laki-laki diharamkan berjabat tangan dengan perempuan asing dalam segala kondisi, dengan perempuan muda atau tua, mmenimbulkan syahwat atau tidak, karena dalil-dalil larangan bersifat umum.

Tidak boleh berjabat tangan dengan perempuan asing. Berjabat tangan yang bagus adalah antara dua perempuan bukan antara laki-laki dan perempuan asing.” (Hasyiah Asshawy ‘Alas Syarh Asshagir (11/279)

Mazhab Syafi’iy:

Dilarang secara umum walaupun dengan perempuan sepuh. Ada satu kondisi yang dibolehkan yaitu jika memakai pelapis dan aman dari godaan syahwat.

Annawawy berkata, “Sejawat kami dalam mazhab berkata, ‘Setiap yang diharamkan untuk dipandang haram untuk disentuh. Terkadang boleh dipandang tapi haram disentuh. Boleh memandang kepada perempuan asing ketika transaksi jual beli, memberi dan mengambil sesuatu dll, tapi haram menyentuhnya.’” (Almajmu’ 4/515)

Di tempat lain beliau berkata, “Sejawat kami dalam mazhab berkata, ‘Setiap yang diharamkan untuk dipandang haram untuk disentuh, bahkan lebih berat larangan menyentuh. Dibolehkan memandang kepada perempuan asing jika ia mau menikahinya tapi dilarang menyentuhnya.’” (Al Azkaar 228)

Mazhab Hambali:

Dilarang berjabat tangan dengan perempuan asing yang masih muda, adapun dengan yang sudah sepuh dibolehkan. Albahuuty berkata, “Haram berjabat tangan dengan perempuan muda karena ia lebih buruk dari memandang. Adapun dengan perempuan sepuh dibolehkan berjabat tangan dengannya. Ibnu Manshur mengatakan dimakruhkan berjabat tangan dengan perempuan.

Muhammad bin Abdullah bin Mihran berkata, “Abu Abdillah ditanya tentang laki-laki berjabat tangan dengan perempuan, beliau berkata, ‘Tidak boleh,’ dan menekankan bahwa sangat terlarang. Bagaimana kalau dilapisi kain? Dia berkata, ‘Tidak boleh.’ Bagaimana kalau ada hubungan kerabat? Beliau berkata, ‘Tidak boleh.’ Bagaimana kalau dengan anaknya? Belaiu berkata, ‘Tidak apa-apa kalau dengan anaknya.’” (Kassyaf Alqina’ 2/154)

Kesimpulannya bahwa tidak ada dari kalangan ulama terdahulu yang menyalahi pendapat diharamkannya menyentuh dan berjabat tangan dengan perempuan asing yang muda yang tak cacat rupa.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Menyentuh dan Berjabat Tangan dengan Perempuan Asing

  1. Rasulullah tidak mau menjabat tangan perempuan ketika berbaiat.

    Aisyah meriwayatkan, “Wanita-wanita beriman yang hijrah ke Madinah diuji dengan firman Allah, ‘Wahai orang orang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian wanita-wanita beriman maka ujilah mereka,’ – sampai akhir ayat -.” Aisyah berkata, “Siapa yang menerima syarat-syarat ini maka ia telah menyetujui ujian. Jika mereka menerima syarat-syarat tersebut dengan ucapan mereka, Rasulullah mengatakan kepada mereka, ‘Pergilah karena saya telah membaiat kalian.’” Aisyah menambahkan, “Demi Allah! Tangan Rasulullah sama sekali tak pernah menyentuh tangan perempuan, beliau membaiat mereka dengan perkataan, demi Allah! Rasulullah tak mensyaratkan apa-apa atas mereka kecuali seperti yang diperintahkan oleh Allah, beliau berkata kepada mereka setelah kesepakatan poin-poin baiah, ‘Saya telah membaiat kalian dengan perkataan.’” (Albukhary 4985)

    Ibnu Hajar berkata, “Sabda Rasulullah ‘Saya telah membaiat kalian dengan perkataan’ menunjukkan bahwa beliau membaiat dengan perkataan saja, tidak disertai jabat tangan sebagaimana lazimnya baiat laki-laki yang disertai dengan jabat tangan.” (Fathul Bary 8/636)

    Imam Nawawy berkata, “Perkataan Aisyah, ‘Tangan Rasulullah sama sekali tak pernah menyentuh tangan perempuan melainkan beliau membait mereka dengan perkataan saja’ menunjukkan bahwa baiat perempuan dilaksanakan dengan perkataan tanpa adanya jabat tangan, bahwa baiat laki-laki dengan jabat tangan dan perkataan, bahwa suara perempuan bukan aurat, dan bahwa kulit perempuan tak boleh disentuh kecuali untuk kondisi darurat, seperti berobat dan fashdu.’” (Syarah Muslim 16/206)

  2. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berbicara, zina kedua tangan adalah menyentuh, zina kedua kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindaklanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (Muslim 2657)

    Imam Nawawy berkata, “Arti hadits adalah bahwa nasib perzinaan manusia sudah ditentukan, ada yang zinanya zina yang sesungguhnya yaitu memasukkan kemaluan pada kemaluan tidak halal, ada yang zinanya kiasan yaitu dengan pandangan haram, atau mendengarkan perzinahan dan bagaimana cara mendapatkannya, atau menyentuh dengan tangan dengan menyentuh perempuan asing dengan tangannya atau menciumnya.” (Syarah Muslim 16/206)

    Ibnu Abbas menafsirkan (allamam) pada ayat “Dan orang-orang yang menjauhi dosa besar dan perbuatan keji kecuali allamam” (QS. Annajm 32) dengan hadits di atas.

  3. Diriwayatkan At Thabrany dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya jika kepala seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh perempuan yang tidak halal baginya,” dalam riwayat lain dari beliau, “Sesungguhnya jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh perempuan yang tak halal baginya.” (Mu’jam Atthabrany Alkabir 486)

    Almunzdiry berkata, “Diriwayatkan oleh Atthabrani dan Albaihaqy, sanad Atthabrany terpercaya, mereka adalah sanad sahih.” (Attarghib wattarhib 3/26)

    Alhaitsamy berkata, “Diriwayatkan Atthabrany, sanadnya sanad sahih” (Majma’ Azzawaid 4/598). Hadits ini walaupun dicurigai tidak shahih, tapi maknanya sesuai dengan dalil-dalil yang lain.

  4. Menjabat tangan perempuan asing merupakan salah satu penyebab untuk tergoda dengannya. Tidak logis kalau Islam melarang sesuatu lalu membolehkan pekerjaan yang menyebabkan tergoda melakukan larangan tersebut, dan tak ada orang yang normal yang meragukan bahwa laki-laki menyentuh seorang perempuan asing seperti pada jabat tangan merupakan salah satu penyebab untuk tergoda dengannya. Karena jabat tangan pada dasarnya seperti itu, maka ia diharamkan karena merupakan salah satu penyebab untuk tergoda dengan seorang perempuan.
  5. Islam melarang memandang kepada seorang perempuan tanpa alasan yang dibenarkan, terlebih lagi menyentuhnya, karena dampak menyentuh lebih hebat daripada sekedar memandang. Menyentuh lebih membangkitkan dan menggerakkan syahwat daripada memandang. Jadi analogi hukum menyentuh dengan hukum memandang merupakan qiyas aula. Qiyas aula adalah jika suatu hukum pada cabang lebih utama daripada hukum pada asal disebabkan illat (alasan)nya yang lebih kuat. Contoh, larangan memukul orang tua lebih utama daripada sekedar berkata “ah” karena ia lebih menyakitkan. Dan menyentuh lebih dahsyat daripada sekedar memandang. Imam Arramly berkata, “Assyafi’iy berkata, ‘Jika memandang diharamkan maka menyentuh juga diharamkan karena menyentuh lebih membangkitkan syahwat dan membatalkan puasa jika keluar mani karena menyentuh, berbeda jika keluar mani karena memandang yang tidak membatalkan puasa.’” (Nihayatul Muhtaj 6/195)
  6. Kesepakatan ulama tentang haramnya berjabat tangan tanpa penghalang dengan perempuan muda yang tak cacat rupa walaupun tak membangkitkan syahwat. Saya (penyusun buku) tak menemukan seorangpun dari ulama terdahulu dari berbagai mazhab fiqih yang membolehkannya. Pendapat yang menyelisihi baru terdapat pada masa belakangan ini.

Salah Faham

Sebagian orang kadang salah memahami hadits-hadits atau teks hukum dari para ulama, di antaranya:

  • Hadits Anas, “Budak-budak perempuan dari penduduk Madinah ‘mengambil’ tangan Rasulullah lalu mereka pergi bersamanya kemana mereka menghendaki” (Bukhary 5724).

    Yang dimaksud ‘mengambil’ adalah mengambil secara maknawi yaitu mengikuti dan mentaati, seperti yang dikatakan para pensyarah hadits dan bisa dipahami dari konteks hadits.

    Ibnu Hajar berkata, “Yang dimaksud dengan ‘mengambil tangan’ adalah membersamai, yaitu mengikuti dan mentaati. Hadits ini memuat pelajaran tawadhu yang berlebihan, ia menyebut perempuan dan bukan laki-laki, menyebut sahaya perempuan dan bukan perempuan merdeka. Ini menunjukkan kerendahhatian dan jauhnya Rasulullah dari sifat sombong” (Fathul Baary syarah sahih bukhary 1/490).

  • Masih dari riwayat Anas bahwa: “Rasulullah tidur siang di rumah bibinya (bibi Anas) Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin As Shamit. Rasulullah tidur meletakkan kepalanya di pangkuan Ummu Haram lalu ia membersihkan kepala Rasulullah dari kutu (kotoran)” (Albukhary 2636, Muslim 1912).

    Hadits ini bisa berarti bahwa Ummu Haram merupakan salah seorang perempuan mahram beliau, diperkuat dengan hadits yang menyebutkan bahwa beliau mengunjungi Ummu Sulaim saudari Ummu Haram dan berdiam di rumahnya seperti disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr, “Ibnu Wahb berkata, ‘Ummu Haram merupakan salah satu bibi susuan Rasulullah, karena itu beliau pernah tidur siang di rumahnya lalu ia membersihkan kutu dari rambutnya.’” (Al Istidzkar 5/125)

    Beliau menambahkan, “Seandainya dia bukan mahramnya dia tidak akan mengunjunginya dan istirahat di rumahnya.”

    Atau bisa berarti itu merupakan salah satu keistimewaan Rasulullah, firman Allah, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri” (QS. Alahzab: 6) yang dalam bacaan Ubay dan Ibnu Mas’ud, “Dan dia adalah bapak mereka,” yang merupakan bacaan penafsiran. Apalagi ulama sepakat tidak boleh tidur dan meletakkan kepala di pangkuan wanita asing.

  • Adapun pendapat beberapa ulama Syafi’iy, “Seorang laki-laki boleh memijat paha laki-laki jika memakai pelapis dan aman dari godaan, dari situ diambil hukum boleh menjabat tangan perempuan dengan dua syarat tersebut” (Nihayatul Muhtaj 6/191), disamping pendapat ini adalah pendapat yang tidak kuat, juga disyaratkan adanya pelapis dan aman dari godaan.
  • Adapun pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad yang mengatakan bahwa hukumnya makruh secara umum, artinya menjabat tangan mahram juga dimakruhkan, apalagi Imam Ahmad dikenal tegas dalam masalah berjabat tangan dengan lawan jenis.

    Al Mardawy berkata, “Imam Ahmad menganggap makruh menjabat tangan perempuan dan menegaskan pendapatnya tersebut sekalipun dengan mahram, dan membolehkan jika dengan orang tua.” (Al Inshaf 8/32)

Pelajaran Penting: Rasulullah Tidak Menjabat Tangan Perempuan Padahal Beliau Ma’shum (Terjaga)

Sikap Rasulullah meninggalkan berjabatan tangan dengan perempuan asing padahal beliau ma’shum memberikan kita pelajaran penting untuk selalu menempuh jalan istiqamah (lurus). Jikalau Rasulullah yang suci, terpuji, dan mulia yang tak seorangpun meragukan kejujurannya, kesuciannya, dan kebersihan hatinya, beliau tidak menjabat tangan perempuan dan menganggap perkataan cukup dalam baiat mereka, padahal baiat adalah perkara yang sangat penting, maka bagaimana berjabatan tangan dengan perempuan dibolehkan untuk laki-laki lain selain Rasulullah padahal syahwat dominan dalam diri mereka, tak aman dari godaan, dan syaitan mengalir dalam aliran darah mereka” (Rawai’ Al Bayan karangan As Shabuny 2/264).

Hukum Berjabat Tangan dengan Perempuan Tua

Perempuan tua yang tidak menarik lagi, dan mereka tak ada keinginan menikah, yaitu perempuan yang diberi keringanan untuk menanggalkan pakaian bagian luar sebagaimana firman Allah yang artinya, “Dan perempuan tua yang sudah tak ada keinginan menikah maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian luar mereka, dengan tidak berniat menampakkan perhiasan mereka. Dan memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar dan Maha mengetahui.” (QS. An Nur: 60)

Ulama berpeda pendapat mengenai hukum laki-laki berjabat tangan dengan mereka

  1. Tidak boleh secara mutlak, pendapat Maliki dan sebagian ulama Hambali.
  2. Boleh dengan pelapis antara dua tangan jika aman dari godaan. Salah satu pendapat di mazhab Syafi’iy.
  3. Boleh tanpa pelapis jika kedua pihak aman dari godaan. Pendapat Hanafi dan salah satu pendapat di mazhab Hambali.

Terdapat perbedaan kuat dalam masalah ini. Pendapat yang rajih adalah tidak boleh berjabat tangan tanpa pelapis dengan perempuan tua. Alasannya adalah:

  • Tak ada dalil yang membolehkan menjabat tangan perempuan tua, yang ada adalah hukum menanggalkan pakaian bagian luar, sementara hukum asal adalah laki-laki tidak boleh menyentuh perempuan asing.
  • Menyentuh tidak boleh diqiyaskan dengan melihat karena illat menyentuh lebih berat.
  • Tak ada riwayat kuat yang menyebutkan para sahabat menjabat tangan perempuan-perempuan tua. Ada riwayat dalam masalah ini tapi tidak kuat.

Apakah Berjabat Tangan Adalah Darurat?

Orang Islam yang tinggal di negeri nonmuslim banyak dari mereka merasa sangat tidak nyaman jika seorang perempuan menjulurkan tangannya untuk berjabatan. Begitu juga dengan muslimah, ia merasa malu jika ada laki-laki menjulurkan tangannya untuk berjabatan.

Mungkin di antara mereka yang laki-laki ada yang menganggap darurat berjabat tangan dengan guru perempuan atau pelajar putri yang sama-sama satu sekolah atau perguruan tinggi. Atau dengan pegawai perempuan yang satu kantor atau di rapat dan pertemuan bisnis.

Sebenarnya tidak ada kondisi darurat, atau kebutuhan mendesak. Maslahat yang terdapat pada pilihan untuk berjabat tangan dengan perempuan asing adalah maslahat yang tak dianggap oleh syariat dengan adanya ketegasan hukum haram berjabat tangan.

Seorang muslim wajib mengalahkan nafsu dan syaitan, harus kuat dalam agamanya, dan Allah tidak malu terhadap kebenaran.

Seorang muslim bisa saja menolak dengan sopan dan cerdas, serta menjelaskan alasan penolakan. Bukan berniat merendahkan, tapi semata-mata ingin menjalankan perintah agama. Sikap seperti ini justru – biasanya – membuat respek orang lain walaupun pada awalnya merasa aneh.

Hukum Ucapan Salam dan Aisatsu antara Laki-laki dan Perempuan

Laki-laki boleh mengucapkan salam kepada perempuan asing tanpa berjabatan tangan, baik memulai atau menjawab salam jika aman dari fitnah, karena berbicara dengan perempuan pada kondisi normal dibolehkan (lihat pembahasan tentang perkataan dan suara perempuan).

Almardaawy berkata, “Tidak apa-apa laki-laki memberi salam perempuan asing dan perempuan memberi salam kepada laki-laki asing jika ada kepentinagan dan tak melanggar larangan.” (Al Inshaaf 8/320)

Harus diperhatikan bahwa tidak boleh memulai memberi salam kepada perempuan nonmuslim (akan dibahas lebih lanjut), tapi boleh memberi aisatsu atau menjawab salam dan aisatsu dari mereka jika kondisinya aman dari fitnah.

Berjabat tangan dengan perempuan asing

Ingat!

  1. Haram berjabatan tangan antara laki laki dan perempuan asing yang masih muda tanpa pelapis antara dua tangan menurut pendapat jumhur ulama.
  2. Terdapat perbedaan pendapat tentang hukum berjabatan tangan dengan perempuan tua. Pendapat yang rajih adalah tidak boleh walaupun ia boleh melepas pakaiannya yang bagian luar tanpa tabarruj.
  3. Tidak boleh menjabat tangan lawan jenis non mahram yang menjulurkan tangannya untuk berjabatan tangan.
  4. Boleh memberi salam kepada perempuan muslimah tanpa berjabatan tangan dan diperintahkan untuk menjawabnya jika aman dari fitnah.
  5. Boleh memberi aisatsu kepada perempuan nonmuslim, dan dibolehkan menjawab salam dan aisatsu dari perempuan nonmuslim tanpa berjabatan tangan jika aman dari fitnah.
Artikel ini merupakan terjemahan dari buku Panduan Fikih bagi Pelajar di Negeri Rantau, Bagian (3) Pergaulan, Pasal (1) Laki-laki dan Perempuan, oleh Ustadz Jailani Abdul Salam, Lc., MA.